Stefano Pioli dan Pembebasan Milan dari Purgatori


Luceat lux vestra!

Jam 12 siang, hari Senin, dan rasanya saya baru tidur 2-3 jam semalam. Mencoba tidur awal, tetapi gelisah. Menunggu partai terakhir Serie A musim 2021/2022, di mana AC Milan menjalani laga tandang melawan Sassuolo untuk menentukan gelar.

Singkat cerita, jam 1 malam skor akhir 3-0 untuk Milan, dan mereka mengakhiri dahaga 11 tahun tanpa gelar juara liga. Ketika kemudian Alessio Romagnoli mengangkat piala, air mata tiba-tiba saja menetes dan sedikit histerikal. Untung saja itu pukul 2 dinihari.

11 tahun dahaga kali ini sungguh spesial, lantaran kami sebagai penggemar Milan (Milanisti) seperti masuk ke purgatori. Usai scudetto, era Berlusconi perlahan hancur, disambung dengan oper kepemilikan yang tidak transparan. Menambah panjang derita, ketika akhirnya Milan justru dikelola oleh grup Elliott, sebuah hedge fund yang tampaknya jauh dari sportivitas.

Sedekade lebih melewati purgatori, artinya berjumpa dengan banter-era Milan. Masa ketika Milanisti hanya bisa membanggakan rekor lama. Saking terbiasa apatis dan patah hati, ketika Elliot menunjuk Paolo Maldini sebagai direktur, semua juga merasa same old same old.

The Normal One

Apalagi ketika proyek pertama Maldini boleh dibilang gagal total bersama Marco Giampaolo. Berbekal skuad anak-anak muda, kulminasi terendahnya adalah ditekuk Atalanta 0-5 yang memungkasi karier Giampaolo. Manajemen Milan menghendaki proses panjang digawangi Ralf Ragnick. Tetapi Maldini malah menunjuk Stefano Pioli sebagai interim dan kemudian pelatih tetap.

Prestasi paling besar Pioli adalah membuat Lazio respectable, serta membantu beberapa tim promosi ke Serie A. Saking semenjananya, sebelum Pioli masuk ke Milan, di social media sudah trending tagar #PioliOut. Karena terbiasa dengan banter-era, beberapa juga melihat Pioli ini sebagai Guardiola KW. Sama-sama botak, tetapi bukan grade ori bahkan. Pioli sendiri sadar dengan hal ini, bahkan ia mengampanyekan moniker sebagai "The Normal One", karena ia merasa bukan Jose Mourinho, "Si Spesial".

Yang dibutuhkan Pioli ternyata sesederhana waktu dan kepercayaan. Ketika liga berhenti akibat pandemi, ia memanfaatkan jeda untuk berkomunikasi dengan tim. Menjadikan skuad Milan sebagai anak-anaknya. Ia, dibantu Zlatan Ibrahimovic, berusaha menanamkan mental pemain klub besar sebagaimana sejarah AC Milan.

Milan pada masa Pioli memang jauh dari era glamor Milan di 1990-an dan 2000-an. Milan pada masa itu harus menyeimbangkan neraca keuangan. Bukan saja karena pandemi, tetapi dampak dari buruknya pengelolaan bertahun-tahun sebelumnya yang berdampak utang menggunung. Di era 2019/2020 tersebut, Milan menerapkan kebijakan gaji menengah bagi klub Italia. Pengeluaran mereka di bawah klub papan atas lainnya.

Pemain yang bergabung di Milan, saat itu, rata-rata rekrutan dari klub papan bawah Serie A, atau dari Liga Perancis. Mereka tidak mendapatkan mentalitas pemain klub papan atas, sampai kemudian Zlatan dan Pioli masuk.

Ketika liga restart pada bulan Juni, dalam sistem tanpa penonton, Milan membabat seluruh laga sisa tanpa kekalahan. Sayang, karena sebelumnya sudah terlanjur hancur, mereka finis di posisi 5. Satu strip dari jatah Liga Champions dan hanya lolos ke Liga Europa.

Menapak dari Purgatori

Musim berikutnya, 2020/2021, Milan terkena sanksi UEFA karena neraca keuangan yang tidak bagus. Mereka memutuskan untuk tidak bermain di Liga Europa dan menjalani sanksi. Fokus di liga domestik, anak-anak muda (plus Zlatan) ini merangsek ke papan atas. Milan finis di nomer 2 klasemen akhir, sehingga akhirnya lolos ke Liga Champions setelah terakhir berlaga di 2013/2014.

Stefano Pioli masih bertahan dengan dukungan penuh manajemen. Kontraknya diperpanjang, dengan Milan membentuk tim analis data yang bertugas membantu Pioli. Skema ini memungkinkan Milan mengoptimalkan roster mereka, yang sebagian besar anak-anak muda dengan gaji di bawah 4 juta Euro per-musim. Bandingkan dengan gaji Cristiano Ronaldo di Juventus yang mencapai 31 juta Euro per-musim saat itu.

Pada edisi perdana di Liga Champions, Milan berada di pot keempat bersama Liverpool, Atletico, dan Porto. Mereka gagal lolos grup karena hanya menang sekali. Patut dicatat, seluruh partai yang dijalankan Milan tidak ada yang berselisih lebih dari 1 gol. Anak-anak muda, yang sebagian besar pertama kali bermain di Liga Champions, mendapatkan pengalaman berharga di debut mereka bersama raksasa Eropa.

Usai tersingkir dari Eropa, fokus Milan tinggal gelar domestik. Secara tradisional, Piala Italia mungkin target yang realistis, mengingat trofi ini pernah sangat dekat diraih pada masa banter-era. Tidak ada yang percaya bahwa Milan akan kompetitif untuk bersaing merebut scudetto. Bahkan manajemen hanya menargetkan kembali ke Liga Champions musim depan.

Namun, yang paling paham dengan kapasitas dan mentalitas Milan tentu saja Stefano Pioli. Ia sadar tidak bisa menargetkan hal yang berlebihan kepada skuad mudanya, tetapi pelan-pelan Piolo membangkitkan potensi atlit-atlit yang ada dalam skuadnya.

Milan kini diperkuat Mike Maignan yang diboyong dari klub Perancis Lille sebagai pengganti pemain terbaik Piala Eropa 2020, Gianluigi Donnarumma. Di depannya ada Pierre Kalulu, bocah 19 tahun yang bahkan tidak mampu menembus skuad utama Lyon. Ia bermitra dengan Fikayo Tomori, bek Inggris yang tidak terpakai di Chelsea.

Di tengah Milan bergantung pada perkembangan Ismail Bennacer (ditransfer dari Empoli) dan Sandro Tonali (ditransfer dari Brescia), ketika "bintang" mereka Franck Kessie sudah tidak lagi sanggup dibendung Milan karena permintaan gaji.

Milan bergantung pada sektor kiri mereka yang menampilkan Theo Hernandez, bek kiri (berpotensi) terbaik dunia, dan Rafael Leao. Nama terakhir kemudian menjadi MVP bagi Liga Italia musim 2021/2022. Leao juga adalah testimoni sahih development yang dilakukan Pioli.

Ketika ia datang, Leao adalah prospek masa depan untuk melapis Ante Rebic. Ia bahkan dikompetisikan dengan sesama sayap kiri, Jens Peter Hauge, karena sikapnya yang kurang profesional. Pioli meminta Zlatan untuk menjadi mentor bagi Leao. Hasilnya terlihat musim ini, dengan ia berpotensi menjadi next household mengisi estafet winger hebat macam Ronaldo dan Messi.

Setidaknya di timnas Portugal, Leao kini sudah menerima estafet dari Ronaldo sendiri.

Cahaya di Ujung Terowongan

Jalan Pioli menuju scudetto pertamanya terasa panjang bagi Milanisti. Ia tidak menghadirkan sukses seketika seperti halnya kala scudetti Milan bersama Mister sebelumnya. Dalam perayaan scudetto pertama yang saya alami, tahun 1999, Milan meraih scudetto di musim pertama bersama Alberto Zaccheroni. Pada scudetto kedua di 2004, Milan menjalani tahun ketiga bersama Carlo Ancelotti. Situasinya berbeda dengan masa Pioli, karena Milan saat itu adalah powerhouse Eropa yang baru saja menjuarai Liga Champions pada musim sebelumnya.

Tahun 2011, Milan meraih scudetto bersama pelatih baru, Max Allegri. Jadi, selalu ada harapan tinggi ketika berganti allenatori pada masa itu. Sampai masa-masa purgatori datang. Pergantian pelatih dari Clarence Seedorf, Brocchi, Inzaghi, Mihajlovic, Montella, hingga Giampaolo menghasilkan masa yang kian gelap. Oleh karena itu, ketika kemudian Milan menunjuk Pioli, harapan untuk keluar dari kegelapan mungkin masih terasa sulit. Pioli mesti meniti jalur terjal berupa warisan banter-era untuk menapak naik dari purgatori.

Normalitas yang ia bawa, kondisi keuangan yang membelit, rencana jangka panjang, drama kegagalan mempertahankan bintang, dan seterusnya. Sampai pada satu titik bahwa yang bisa membawa Milan kembali ke kastanya adalah kepercayaan diri dan kerja keras.

Urusan pertama, Milan berterima kasih pada para pemain senior yang masih ada. Sedangkan urusan kedua adalah hari demi hari yang dihabiskan di Milanello antara Pioli dan anak-anaknya. Hingga "The Normal One" bisa mengantarkan ribuan (dan jutaan di seluruh dunia) Milanisti untuk bernyanyi:

"Siamo noi! Siamo noi. I campioni della Italia siamo noi."

Usai masa-masa gelap, biarlah cahaya yang dibawa oleh Bapa Pioli ini menerangi para Milanisti dan dunia sepak bola Italia. Mengutip kisah klasik Purgatorio karya bapa bahasa Italia, Dante, Pioli inilah sosok Virgil yang menjadi pemandu narator untuk keluar dari purgatori.Yang kemarin-kemarin terbiasa dengan kegelapan, kini melihat kembali dari pucuk dunia segala terang benderangnya.

AC Milan kini telah kembali.

Related

STICKY 7755906384658650138

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item