NFT, Blockchain, Nuansa Analog Produk Digital


Pada unggahan Instagram Story-nya, wartawan Harian Kompas, Herlambang Jaluardi menulis status sebagai berikut:

NFT: Non-Functioning Token

Di Story sebelumnya, Ponks (panggilannya, yang saya kenal sebelum kariernya sebagai wartawan) baru saja mengunggah artikelnya yang justru "merayakan NFT" sebagai salah satu jalan bagi para kreator untuk mendapatkan apresiasi.

NFT ini memang bidang yang pelik. Saya akan menyerah apabila diminta menerangkan "apa itu NFT". Dan hebatnya Harian Kompas berikhtiar dengan membuat rangkaian tulisan mengenai Non Fungible Token (kepanjangan NFT sebenarnya), dari awal bulan, termasuk tulisan Ponks itu tadi.

Ikhtiar tersebut sejalan dengan proyek saya di Kompas, untuk mencoba melihat apa itu NFT, dan bagaimana media bisa menggunakannya. Jadilah per-Februari lalu saya ketiban pulung untuk ikut ngulik perkara NFT dan pangkal pohonnya, blockchain serta web 3.

Sebagai inisiatif yang turun dari para Kakak Pembina di kantor, tentu saja saya tidak memulai dari petuah Simon Sinek untuk "Start With Why". Ini adalah proyek mencari pembenaran kalau boleh dibilang. Dan kalau mencari, dan diniatkan mencari, ya pembenarannya akan ketemu.

Digital Rasa Analog

Salah satu yang unik dari NFT (serta blockchain dan web 3) ini adalah produk digital yang membawa lagi nafas-nafas analog. Ada keterbatasan (finitas) yang dimainkan. Kelangkaan, kolektabilitas, dan keterbukaan. Hal yang bisa diukur dan dihitung. Aspek-aspek yang sama sekali bukan "digital as we know it".

Bagaimana tidak?

Di dunia digital yang kita kenal, sebuah gambar adalah berkas. Gampang di-save as, dibagikan, dimodifikasi, dan dibuang. Di NFT, produk ini punya sertifikat, catatannya jelas, dan ada batasnya. Orang bisa memotret lukisan Monalisa dan sampai puas memandangnya di rumah. Tetapi orang tidak akan mempunyai lukisan Monalisa. Kira-kira seperti itu analogi analognya.

Di dunia digital yang kita kenal, apresiasi ke kreator sungguh taken for granted. Di Spotify, tak peduli yang nyanyi itu pencipta lagunya atau hanya cover. Artikel berita digital berseliweran, jutaan bit setiap hari diproduksi menjadi konten-konten yang deletable, tak berguna, dan yang paling mencerahkan: bisa diedit nantinya.

Dunia analog punya keterbatasan, karena kalau sudah dicetak, ya pasrah saja sama nasib. Saya masih terlibat di dunia tersebut, stres bukan main kalau jam 4-5 jelang subuh ada telepon dari Percetakan Gramedia. "Mati, ada salah cetak mungkin?"

Ini menjadikan kita lebih apresiatif ke hasilnya. Dan apresiasi kadang juga berbentuk pemakluman. Ketika koran Kompas memuat teks templat bernama "Lorem Ipsum", jagad media heboh. Dari yang mulanya menertawakan lambatnya (atau fatalnya) analog, lama-lama berubah jadi konten seru. Edisi Lorem Ipsum jadi dicari, dan banyak difoto netizen yang budiman.

Di dunia analog, sampul album musik yang salah cetak bisa jadi barang koleksi yang berharga tinggi. Di dunia digital, salah cetak atau salah upload masuk ke recycle bin. Bisa diganti, tanpa batasan. Semua hal editable.

Nah, NFT dengan catatan di blockchain-nya ini kembali membawa semangat ke-analog-an tersebut. Ironis, sekali lagi, mengingat NFT adalah produk digital (salah satu) paling mutakhir. Tetapi sekalinya salah ketika masuk ke blockchain, tidak bisa dibatalkan. Kesalahan kita imortal dan syukur-syukur jadi benda koleksi.

Pasrah Versi Digital Adalah Mengaku Salah

Oleh karena itu, kala memproduksi NFT Kompas dalam proyek baru ini, stress saya sudah mirip menanti cetak buku. Sudah diteliti sebaik-baiknya, tetapi tetap saja ada salah ketik, garis tertinggal, dan sebagainya. Di NFT juga sama, ketika sudah naik ke blockchain, ternyata masih ada saja yang kurang sempurna.

Pada akhirnya solusinya ya hanya bisa pasrah. Sembari berharap NFTizens yang budiman berbeda dengan kompatriot digitalnya, Netizens. Saya harap NFTizens bisa memaklumi ke-analog-an produksi NFT, sehingga ketika ada yang salah kembali kepada ini pekerjaan manusiawi, bukan bot. Bahkan menjadikan itu sebagai collectible asset.

Tim kami, ketika hendak merilis produknya, menemukan setidaknya beberapa kesalahan. Sebetulnya masih bisa untuk di-edit dan disempurnakan. Tetapi kami memutuskan untuk membiarkan dan membuat catatan ketidaksempurnaan tersebut di bagian produk. Kesalahan itu akan abadi di blockchain, tapi karena peluang itulah kami menganggap NFT itu menarik.

Barangkali di level ini saya lebih sepakat dengan pemanjangan istilah NFT sebagai "Never Fear Truth" ala Gary V. Kalau "kebenarannya" adalah kita melakukan kesalahan, ya sudah, pasrah saja.

Ini dunia yang betul-betul baru, tapi banyak nuansa yang saya temukan membawa dunia lama. Semakin menggali, dunia web 3 dan desentralisasinya ini semakin menarik. Mengingatkan ke Profesor MacLuhan dulu mengenai retribalisasi.

Prof, mungkin retribalisasinya tidak sekadar kita kembali ke visual dan abai ke tekstual. Barangkali kita kembali ke skema anarki sempurna seperti halnya 10.000 tahun lampau sebelum munculnya peradaban pertanian?

Related

STICKY 4745695117318247809

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item