Kembali Mengaji Pearl Jam Melalui Acoustology


Setelah 17 tahun, Dissident dan kawan-kawan dari Pearl Jam Indonesia ternyata menyadarkan misi yang lebih baik dari sebuah komunitas penggemar band musik manca negara.

Tanggal 4 September 2005, saya datang dari Surabaya ke Jakarta untuk bersama beberapa kawan mengumumkan berdirinya komunitas Pearl Jam Indonesia (PJID). Rembug dan deklarasi dilakukan di wilayah Jatipadang, Jakarta Selatan, bersama belasan lainnya.

Masa tersebut, separuh hidup saya adalah mengenai Pearl Jam. Kini, band asal Seattle yang masih alive (no pun intended) and kickin' tersebut barangkali mengisi kurang dari sepersepuluh hidup saya. Namun, porsinya tetap prominen dibanding aneka musik lain yang wara-wiri mampir. Pearl Jam, saya bisa deklarasikan, adalah satu-satunya band yang saya tahu betul lebih dari 98% katalog lagu mereka. Mereka sudah merilis 11 album, by the way.

Dari 2005 hingga mungkin tahun 2015-an, saya masih lumayan aktif di komunitas PJID. Portfolio kami lumayan juga, menggelar acara rutin tahunan bernama Pearl Jam Nite selama belasan kali. Kemudian spin off-nya, versi gig akustik yang diberi nama Acoustology juga beberapa kali dihelat. Dalam masa yang kemudian membuat jejaring pertemanan sedemikian lebar.

Komunitas ini tumbuh dari mailing list (ring the bell?), lalu pindah ke media sosial Facebook dan turunannya yang masih ada hingga kini. Sejak tahun 2017-an, I think, saya pelan-pelan melepas gas dari komunitas, dan memutuskan untuk menjadi independent individual fan saja. Periode ini mulai lebih kritis terhadap Pearl Jam, bahkan bisa memutuskan untuk tidak suka dengan rilisan terbaru mereka, Gigaton (2020).

Jadi, ketika komunitas Pearl Jam Indonesia mengundang untuk hadir dalam acara Acoustology IV: Retrograde, situasinya sudah jauh berbeda dengan 17 tahun yang lampau. Pearl Jam tidak banyak memakan porsi banyak dalam playlist, saya sudah tidak ada dalam lingkar pusat komunitas, dan jejaring pertemanan juga sedemikian lebar, dan tentunya tidak dalam, banyak yang tidak saya kenal.

Komunitas kini dikelola oleh Farry Aprianto, yang menyelenggarakan Acoustology IV di Bandarkopi, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Mas Farry, sebelumnya, mengontak saya untuk ikut berpartisipasi dalam acara diskusi yang digelar sebelum gig akustiknya. Karena sudah lama tidak hadir ke acara komunitas, maka hari Sabtu (3/9) sore, saya dan istri ke venue - tanpa ekspektasi apapun selain sekadar membantu mengisi acara. Belum ada rencana pula untuk tetap tinggal sampai kelar, lantaran kami meninggalkan anak-anak berdua sendiri di rumah malam itu.

Sekian jam dan gelas kopi kemudian, kami tiba di rumah jam 23:00 tepat waktu kickoff AC Milan vs Inter. Artinya, ada sesuatu yang membuat saya dan istri tetap terpaku di Bandarkopi selama sekitar 6 jam.


Yang pertama, saya tidak menyangka lingkar komunitas PJID masih ada. Terutama lingkar yang saya jumpai sejak 2005 dan tahun-tahun berikut. Saya pikir, helatan akan didominasi wajah-wajah baru yang tidak saya kenal. Hal paling menyenangkan adalah ketika tiba di venue untuk menjalankan diskusi pembuka, ada mas Reza Lubis yang bersama saya memoderatori mailing list sejak 2003. Kemudian satu demi satu wajah-wajah lama hadir di kafe yang letaknya cukup masuk dalam sebuah kompleks asri nan lega itu.

Yang kedua, tentu saja atraksi utama Acoustology IV, yaitu penampilan band Dissident membawakan 25-an lagu Pearl Jam (dan related). Band ini sendiri tidak lepas juga dari jejaring pertemanan karena berisi kawan-kawan yang sudah kerap mengisi panggung Pearl Jam Nite dan Acoustology edisi sebelumnya. Nito Septian (gitar) contohnya, sudah manggung di circle PJID sejak tahun 2006. Deddot (vokal) dan Arie (gitar) juga jelas lebih sering saya tonton membawakan lagu PJ dibandingkan Eddie Vedder dan Stone Gossard-nya sendiri.

Dissident adalah band impromptu penampil tunggal di Acoustology yang beranggotakan 11 personil. Sama seperti PJ yang kian lebar (dengan Josh Klinghoffer dan Boom Gaspar bergabung sebagai anggota tur). Dissident menampilkan dua drummer, tiga gitaris, satu bassist, keyboardist, dan empat vokalis. Drum dan vokal diisi rotasi bergiliran.

Set dibuka sekitar pukul 19:30 dengan rendisi akustik Corduroy. Saban sekitar tiga lagu, vokalis berganti dari Deddot, Irfan, Adam, dan Reza, yang tampaknya membawa value masing-masing dalam menginterpretasikan lagu-lagu Pearl Jam. Dengan berbagai warna itu, Dissident membawakan representasi dari nyaris seluruh katalog album Pearl Jam (kecuali satu, album self titled (2006)). Mereka bahkan membawakan rendisi akustik dari dua lagu gres: Quick Escape dan Retrograde.

Album Ten (1991) tentu saja masih yang paling banyak. Album yang barusan berusia 31 tahun tersebut masih menjadi perekat utama berbagai layer penggemar dengan kadar iman yang berbeda-beda. Namun melihat Dissident meratakan representasi ke seluruh album menjadi barang menarik dan kadang membuktikan how crazy fans are you. Memilih In Hiding ketimbang Given to Fly misalnya, untuk mewakili Yield.

Selama hampir 3 jam (dan tidak ada lagu Dissident dibawakan), kami masih enggan beranjak dari tempat ketika pertunjukan mestinya usai setelah Yellow Ledbetter dilantunkan. Secara tradisi, lagu itu menutup konser Pearl Jam. Tetapi vibe yang bagus dari penampil dan 50-an penonton saat itu menahan kami semua di tempat. Hingga disepakatilah bonus encore Smile dan State of Love and Trust, usai penyelenggara betul-betul memastikan hanya itu yang tersisa dari curfew.

Dari sekian lagu, beberapa di antaranya betul-betul membuat kami kembali ke masa-masa ketika Pearl Jam masih menjadi separuh nyawa. Bahasa kerennya, belting out lagu Indifference, Small Town, Nothingman, dan sebagainya bersama kawan-kawan di kerumunan. Bukankah itu sejatinya manifesto menikmati kembali musik dalam ranah komunal?

Masa-masa Dissdent di atas pentas itu ternyata mengembalikan lagi kebanggaan saya. Pada iman yang tidak sampai 10%, saya masih tahu hampir semua katalog lagu Pearl Jam. Bahkan hingga snippet-snippet yang kadang iseng dilantunkan mas Nito dari gitarnya masih bisa kami kenali dan menjadi trivia di kalangan penonton. Esensi inilah yang selalu menarik saya menghadiri acara-acara komunitas PJID bersama jejaring kawan yang sama-sama penggemar.

Di akhir konser, selain recharge batere apresiasi terhadap lagu Pearl Jam, menyisakan juga keinginan lama yang sebetulnya menjadi misi besar komunitas. Entah kapan bisa bersama-sama mereka menonton Eddie Vedder dan kawan-kawan. Namun seperti biasa. Ketika sepertinya hal itu semakin susah mewujud, hadirkan saja penampil dan penonton yang ada dalam satu jejaring. Seperti Dissident dan wajah-wajah lama malam itu di Bandarkopi.


Ini kemudian menyambung dengan pesan yang saya titipkan ke mas Farry ketika PJID mendapatkan hibah "lahan" di metaverse Cosmize agar digunakan untuk ekspos hal-hal yang memberi manfaat ke anggota komunitas. Alih-alih masih dalam misi untuk mendatangkan Pearl Jam-nya sendiri. Toh selama ini kami masih merasa tercukupi "mengaji Pearl Jam" melalui penampil seperti Dissident.

Andai ada mesin waktu, saya akan bilang ke my 2005-self ketika mendirikan Pearl Jam Indonesia. Bahwa misi paling baik dari komunitas ini sebaiknya untuk mengembalikan apresiasi musik ke ranah komunal. Setelah melewati masa-masa yang dinamis bin absurd (karena pandemi), menikmati musik secara bersama-sama ini masih menjadi hal terbaik yang menyembuhkan penyakit individu dan sosial.

Related

tribute concert 8390204497320752926

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item