Narasi dan Resolusi Setelah Tragedi Kanjuruhan


Yang sudah terjadi, memang sudah terjadi. Serumit apapun kita berdebat mengenai apa yang terjadi, tidak akan mengembalikan nyawa mereka yang meninggal di Tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10) kemarin.

Sebagaimana dilansir banyak sumber, pertandingan Arema melawan Persebaya berakhir ricuh dan berbuntut hilangnya 180-an nyawa. Tetapi yang membuat sedih, seperti halnya yang dilansir Kompas kemarin (artikel "Hujan Duka hingga Buzzer Polisi dalam Tragedi Kanjuruhan"), kadang yang membuat kita sebal adalah kepentingan politik yang dikuak di atas keprihatinan seperti ini. Salah satunya mengenai citra, dengan membalas (smearing) citra yang lebih buruk untuk pihak lain.

Ketika kabar mengenai apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merebak Sabtu malam, sebetulnya kami-kami ini sudah bisa menduga penyebab utama jatuhnya korban yang massal. Ya karena gas air mata (tear gas). Catat, yang dibahas adalah jatuhnya korban dengan angka ratusan. Bukan penyebab rusuh atau pitch invasion.

Analisanya sederhana saja. Tear gas dipakai untuk mencegah massa tidak bergerak ke satu arah. Harapannya, ketika dilempar tear gas, massa bubar ke arah lain (selain ke depan).

Tetapi harusnya dilihat juga mereka bubar ke mana?

Ada jalannya apa tidak?

Biasanya arah bubarnya menyediakan akses minimal sama, atau seringnya lebih besar daripada arah datang. Karena tujuannya untuk memecah massa tadi.

Sekarang, kalau tear gas ditembakkan ke tribun, bubarnya diarahkan ke mana?

Akses keluar tribun stadion di mana-mana menyempit, dan difungsikan untuk mengurai satu-satu. Tidak bisa menampung sekaligus. Bayangkan kalau yang ditembakkan lebih dari satu tear gas dan ada di mana-mana. Antara penuh, panik, tetapi begitu massa berbalik sudah sesak arah evakuasinya. Plus mereka tidak bisa melihat juga.

Inilah kenapa sejak awal video beredar, pembahasan lebih ke pertanyaan mengapa petugas melempar tear gas ke tribun?

Ada alasan kuat mengapa cerawat dan tear gas dilarang di stadion oleh FIFA.

Kontra Narasi Mendistorsi

Kesalahan prosedural fatal dalam pengamanan ini jadi topik juga di tragedi Hillsborough (1989). Kasusnya mirip, arah evakuasi penuh, banyak suporter meninggal karena terinjak dan terhimpit (trampled). Usai kejadian, sama seperti Kanjuruhan, saling tuding merebak. Saat itu belum era media sosial, jadi masih bisa buat kontra-narasi untuk menghindarkan backlash ke pengamanan melalui sejumlah artikel di media massa.

Siapa yang pegang pengamanan? Kepolisian Sheffield-Yorkshire.

Wacananya, selama bertahun-tahun, pangkal kejadian meninggalnya 96 orang tersebut di-smear-kan ke suporter (yang mabuk) dan infrastruktur. Baru pada tahun 2017 kasusnya dibuka lagi dan menjerat kepala pengamanan dari Kepolisian Sheffield-Yorkshire. Akhirnya dalam tagar #JusticeFor96, Polisi didakwa atas kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa (manslaughter).

Di sini, di era media sosial, semua "gercep" bikin kontra narasi bila ada potensi menyangkut citra institusi tertentu.

Yang lucu, sekitar Minggu siang mulai dimunculkan kontra-narasi untuk menuding pihak lain. Pertama muncul adalah mengenai jam kick off (dan jam tayang). Argumen ini bahkan digaungi pula oleh petinggi negara yang seperti biasa, bukannya menjernihkan suasana, tetapi memperkeruh dengan komentar yang tidak perlu.

Sekelas Menko turut menyetir arahan narasi bahwa pertandingan yang dihelat malam jadi penyebab. Belum lama, Menko yang sama coba-coba membuat narasi juga ketika ada kasus menyangkut institusi sama. Beliau bilang bahwa MO dalam kasus yang menyita atensi tersebut “tidak layak didengar anak-anak” untuk mengarahkan ke skenario tertentu.

Pada Minggu sore, narasinya mulai digeser ke menyalahkan suporter. Suporter beringas dan biang rusuh menjadi penyebab korban berjatuhan. Banyak akun anonim mulai mengomentari ke cuitan yang bernada kritis ke aparat.

Kita dudukkan lagi proporsi. Pitch invasion salah, tapi sering terjadi. Apalagi mulanya pitch invasion yang dilakukan beberapa suporter di Stadion Kanjuruhan itu justru untuk mendukung pelatih dan pemain sebagaimana yang dilaporkan oleh akun LIBRA_12 di Twitter.

Yang membuat pitch invasion di Kanjuruhan itu membesar justru karena suporter melihat ada suporter lain yang dipukul dan dikeroyok di lapangan. Tapi sekali lagi itu tidak akan membuat korban jiwa 100 jiwa lebih.

Revolusi dan Resolusi Tanpa Polisi

Harian Kompas dalam tajuk tulisan di atas menyebut akun-akun ternak mulai menginvasi lini masa untuk membelokkan narasi dan membela citra institusi tertentu. Upaya tidak simpatik seperti ini justru makin menegaskan ke mana dulu kita harusnya mengurai salah satu tragedi olahraga terburuk sepanjang masa ini.

Akun Noire (@siixsixsiix) dalam cuitannya yang di-RT ribuan kali cukup jelas menyimpulkan. Akan mulai dari mana untuk mencari akuntabilitas? Yang pertama adalah penyelenggara pertandingan, kemudian kepala pengamanan, dan yang terakhir yang memerintahkan penembakan tear gas ke tribun.

Mungkin kita mulai dulu dari menyeret siapa yang bertanggung jawab. Bahwa bila kemudian revolusi dan resolusinya adalah memindahkan "bisnis pengamanan" ke pihak lain, percayalah itu juga yang terjadi di negara lain.

Di Inggris, sejak Hillsborough, pengamanan di stadion tidak lagi dilakukan oleh polisi. Kepolisian tetap monitor, tetapi kerja pengamanan dilakukan oleh steward dari sipil (atau setidaknya berpakaian sipil).

Studi dari Law in Sport (An Overview of How the Match Day Policing Works in English Football), kehadiran polisi justru makin menaikkan potensi konflik. Sejak polisi absen di lapangan, keributan yang terjadi paling-paling seputar insiden suporter melempar benda ke lapangan, berkelahi karena mabuk, dan hinaan ke pemain atau suporter lawan.

Hal yang sama juga dilakukan di Italia. Dulu, pemandangan umum adalah menggunakan carabinieri (polisi) berseragam lengkap (dengan pentung dan tameng) untuk mengamankan pertandingan. Hasilnya, potensi kericuhan semakin besar.

Jawabnya simpel. Ketika suporter frustrasi, mereka akan melampiaskan ke objek yang mereka tidak sukai. Yang pertama adalah suporter lawan, dan yang kedua (seringnya) carabinieri. Oleh karena itu, sejak ada kejadian penusukan anggota carabinieri, polisi tidak lagi mengamankan di dalam stadion.

Polisi masih dibutuhkan untuk koordinasi, sebagaimana ditulis Law in Sport. Tetapi mereka tidak memegang peran taktikal di lapangan. Di sini, apakah terkait dengan bisnis pengamanan? Atau memang ini layanan?

Tragedi Kanjuruhan memang sudah terjadi. Dan retrospeksi terbaik adalah hal ini sebaiknya bisa merevolusi cara kita menyelenggarakan sepakbola. Memberikan duduk perkara dan menuntut tanggung jawab adalah persoalan pertama yang harus diselesaikan.

Related

STICKY 8278327479343717951

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item