Membedah Relasi Suara Pemilu Legislatif ke Suara Pilpres di Pemilu 2024


Menarik untuk melihat hasil Pemilu 2024, terutama untuk dikaitkan dengan "mengapa capres A bisa kalah, tetapi partai pendukungnya masih lumayan besar".

Secara nasional, dari hasil hitung cepat kita sudah bisa memetakan ke mana suara-suara pemilih Indonesia berlabuh, baik secara partai (lewat suara ke DPR RI) atau presiden.

Dari rilisan hitung cepat LSI, yang sampai jam 21:00 sudah masuk 70% lebih untuk DPR RI, dan 90% lebih untuk Pilpres, diketahui data sebagai berikut:

Hasil Pemilihan DPR RI:

1) PDIP 18%
2) Golkar 15%
3) Gerindra 14%
4) PKB 11%
5) Nasdem 9%
6) PKS 8%
7) Demokrat 7%
8) PAN 6%
9) PPP 4%
10) PSI 3%

Partai di bawah 2% tidak saya tulis di sini. Catatan kecil saja Perindo dan Hanura mendapatkan masing-masing 1%.


Lalu hasil Pilpresnya adalah sebagai berikut:

A) Pasangan 01 (Anies-Imin) yang diusung PKB, Nasdem, dan PKS mendapatkan 25% suara
B) Pasangan 02 (Prabowo-Gibran) yang diusung Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PSI mendapatkan 58% suara
C) Pasangan 03 (Ganjar-Mahfud) yang diusung PDIP, PPP, dan Perindo mendapatkan 17% suara



Dari dua paparan hasil (DPR dan Pilpres) bisa diamati apakah suara pemilih partai tertentu akan sama dengan pilihan presiden yang diusung partai tersebut. Sebagai contoh, apakah pemilih PKB akan memilih Anies sebagai presidennya?

Korelasi perolehan suara partai dan presidennya bisa dirangkum dalam premis ini:

A) Pasangan 01 (Anies-Imin) mendapatkan 25% suara, sementara koalisi partai pengusungnya mendapatkan total 28% suara (-3%)
B) Pasangan 02 (Prabowo-Gibran) mendapatkan 58% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan 45% suara (+13%)
C) Pasangan 03 (Ganjar-Mahfud) mendaptkan 17% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan total 23% suara (-6%)

Dari premis di atas, diketahui bahwa ada tambahan sekitar 13% suara untuk pasangan 02. Dari mana? 9% di antaranya dari pemilih partai yang mengusung pasangan 01 dan 02. Sisanya dibagi untuk partai-partai lain yang tidak saya tulis di atas.

Suara Bocor Ke Mana?

Dari data hitung cepat, bisa juga diamati hasil per-daerah yang bisa dibongkar menjadi analisa-analisa. Suara yang masuk ke 02 dari mana, dan juga sebaliknya - bocor di manakah suara-suara untuk 01 dan 02?

Sebagai contoh, data di Jateng-DIY menunjukkan data sebagai berikut (sekilas dari data hitung cepat yang belum penuh):

A) Pasangan 01 mendapatkan 13% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan 27% suara (-14%)
B) Pasangan 02 mendapatkan 52% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan 35% suara (+17%)
C) Pasangan 03 mendapatkan 35% suara, koalisi partai pengusungnya dapat 32% suara (-3%)

Dari sini mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa suara partai apa yang mungkin tidak sejalan dengan pilihan presidennya. Banyak yang menyoroti bila "kandang banteng roboh", tetapi sebetulnya pilihan partai dan presiden tidak terlalu banyak berbeda. Hanya bocor 3%. Bandingkan dengan suara Anies yang bocor dua digit. Jadi, suara yang masuk ke Prabowo di Jawa Tengah disumbang oleh pemilih partai pengusung Anies-Muhaimin.

Analisa di atas bisa diperkuat juga dengan data dari Jawa Timur, yang juga menarik untuk dibedah:

A) Pasangan 01 mendapatkan 18% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan 31% suara (-13%)
B) Pasangan 02 mendapatkan 65% suara, koalisi partai pengusungnya mendapatkan 43% suara (+22%)
C) Pasangan 03 mendapatkan 17% suara, koalisi partai pengusungnya dapat 21% suara (-4%)

Lagi-lagi, yang bocor cukup signifikan di Jatim adalah suara untuk pasangan 01 (Anies-Muhaimin). Di Jatim, PKB memenangkan pemilu legislatif dengan 17% suara. Jadi, sebetulnya bisa diambil kesimpulan bahwa banyak suara PKB yang "bocor" ke pasangan 02. Tren ini mirip juga dengan Jateng, dengan PKB mendapatkan 13% suara (tertinggi kedua di bawah PDIP).

Kondisi ini sebetulnya jadi sangat tertaut dengan dinamika politik yang terjadi belakangan. Ditambah dengan informasi-informasi, seperti program Tempo (Bocor Alus), atau pengakuan Gus Nadir yang mengindikasikan sengitnya perebutan suara kalangan NU di battleground Jateng dan Jatim.

Dari hasil ini, pasangan 02 bisa dibilang memenangkan battleground Jateng-Jatim, antara lain dengan merebut suara dari pemilih PKB dan Nahdliyin.

Analisa serupa juga bisa digunakan di daerah lain, seperti misalnya di wilayah Bali-Nusra yang mengindikasikan kebocoran suara pemilih PDIP yang tidak lari ke Ganjar-Mahfud. Analisa-analisa ini juga bisa digunakan untuk mengukur dampak elektoral dari para cawapres. Salah satu yang bisa diukur, antara lain, apakah Anies menyesal berpasangan dengan Cak Imin? Bagaimana kalau ia tetap bersama Agus Yudhoyono?

Potensi suara Anies bersama AHY, menurut hasil Pemilu kali ini (koalisi Nasdem, PKS, Demokrat) akan ada di kisaran 24%. Itupun dengan catatan suaranya solid. Sedangkan potensi Anies dan Muhaimin, apabila suaranya solid bisa mendapatkan 28% suara. Realisasi Anies mendapatkan 25% suara bisa diartikan ia mendapatkan dorongan juga dari suara pemilih PKB.

Kemudian analisa lain juga bisa mengukur bahwa Mahfud MD tidak memberikan dampak elektoral bagi Ganjar. Atau pilihan koalisi partai yang dipilih PDIP tidak memberikan daya dorong juga untuk pasangan Ganjar-Mahfud. Skenarionya justru bisa dibalik, andai PDIP dulu meminang AHY sebagai wakil Ganjar misalnya, mereka berpotensi mendapatkan 29% suara. Jauh di atas perolehan saat ini yang hanya 17% suara.

Yang jelas, rakyat sudah memilih. Dinamika politik yang terjadi memang menarik diamati, dan ini bisa menjadi bahan strategi untuk menyiapkan "battleground" lainnya, yaitu Pilkada Serentak di akhir tahun 2024 ini di sejumlah wilayah.

Related

urban living 7849505904772154664

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item