Gelombang Kopi di Indonesia


Mungkin sebagian dari kita sering mendengar mengenai third wave of coffee? Dalam berbagai percakapan dengan banyak pelaku kopi, istilah ini kerap didengar. Mungkin juga barista yang membuatkan kopi kita pernah membicarakannya.

Dengan semakin menjamurnya kedai kopi di Indonesia, ada anggapan bahwa gelombang ketiga (third wave) kopi sudah mulai masuk. Benarkah demikian?

Apa itu third wave? Bear with me, child.

Baca dulu: Sejarah Ringkas Kopi

Wave di sini mengacu pada gelombang apresiasi publik terhadap kopi. Yang dijadikan patokan adalah Amerika Serikat. First wave, atau gelombang pertama adalah kali pertama publik Amerika mulai menggemari kopi. First wave ini terjadi di awal abad ke-20 (1920-an) yang dipicu komunitas imigran Italia. Mereka mendirikan warung-warung kopi, yang lekas menularkan kesukaan meminum cairan hitam ini ke publik umumnya.

First Two Waves

First wave ini dimulai di pesisir timur Amerika Serikat (terutama New York dan sekitarnya), dan segera masuk ke penjuru negara. Metode menyeduhnya makin bervariasi, meninggalkan warisan paling dikenal berupa kopi rebus-saring yang dipanaskan secara elektrik. Disajikan dalam server (teko), sehingga orang bisa refill berkali-kali. Masyarakat setempat menyebutnya “bottomless cup”. Piranti rebus-saring ini masih umum dijumpa, terutama di diner (tempat makan) yang sering juga mendapat jatah layar di film. Di sini, piranti dan praktek ini masih umum digunakan di hotel-hotel.

bottomless cup testimoni first wave of coffee di Amerika

First wave bertahan cukup lama hingga pada dekade 1970-an, di Seattle, muncul kedai kopi yang berbasis espresso. Ya, tentu saja itu adalah Starbucks, yang dalam kurun dua dekade mampu menjadi ikon waralaba warung kopi di Amerika. Starbucks memperkenalkan lagi konsep espresso bar, yang diadopsi dari kultur kopi di Italia. Orang pesan, bayar di register. Ambil cangkirnya, dan diminum cepat sambil lalu.

Starbucks memperkenalkan kembali ragam menu seperti cappuccino, caffé latte, hingga ke varian pop-nya macam frappuccino dan sebagainya. Kesuksesan Starbucks dengan berbagai waralaba di penjuru dunia membuat kebiasaan minum kopi berubah. Orang tidak lagi menggunakan kopi sebagai minuman yang disesap “bottomless” setelah makan di warung atau rumah.

Konsep kopi yang dibawa jalan, ke tempat kerja, dan sebagainya ini lantas diadopsi sebagai gaya hidup masyarakat. Momen itulah yang disebut dengan second wave dalam terminologi gaya hidup dan budaya kopi (coffee culture). Selain Amerika (dan Italia sebagai “leluhurnya”), second wave ini diadopsi oleh Korea Selatan yang dulunya banyak ditinggali oleh tentara Amerika. Maka, tidak heran bila di Korea Selatan, banyak waralaba kopi yang bertebaran selain Starbucks.

Baca juga: Langkah Saya Menjadi Coffee Snob

Fenomena Starbucks ini menumbuhkan demam kopi, dan banyak juga kritik terhadap kapitalisasi. Yang sering disorot adalah upaya mendapatkan bahan berkualitas murah, dengan perkebunan raksasa atau pembayaran buruh yang bermasalah. Kopi yang asalnya minuman rakyat, malah jadi makin tidak terjangkau oleh rakyat. Terutama rakyat yang berhubungan dengan proses hulu (petani dan pengolah kopi). Gagasan-gagasan kontra kapitalisasi kopi ini mulai muncul.

Third Wave

Beberapa kapitalis-etis (atau penggagas ekonomi etis) mulai menanamkan kesadaran akan proses yang menguntungkan semua pihak. Kopi juga tak lepas dari situ. Para pelaku di industri ini, beberapa mulai mencari tahu runutan proses dari kopi. Mereka mempelajari proses pengolahan kopi dari hulu ke hilir. Hal yang didapatkan antara lain: keragaman varietas kopi, proses pengolahan, serta metode seduh yang optimal. Aspek-aspek ini lantas memunculkan disiplin baru dalam dunia kopi, yaitu spesialisasi (specialty coffee).

Pada “wave” sebelumnya, kopi dipandang sebagai minuman yang universal. Ekspektasi konsumen atau peminum kopi sama saja di banyak wilayah. Oleh karena itu, produsen kopi berlomba-lomba memenuhi pasokan kopi dengan menanam varietas yang seragam. Mereka berusaha meningkatkan produksi, dengan membuka perkebunan raksasa, proses yang modern, serta perdagangan global. Brasil, Vietnam, dan Indonesia adalah tiga raksasa produsen kopi dunia. Produk dari tiga negara ini, kebanyakan varietas robusta yang ramah-produksi, membanjiri pasar dunia.

Baca juga: Temanggung, Produsen Robusta Kelas Dunia

Disiplin spesialisasi merusak (disrupt) tatanan tersebut dengan mengenalkan kembali berbagai varietas dalam kopi, terutama varietas arabika. Spesialisasi mengenali berbagai macam perbedaan karakter dan rasa dalam kopi, sehingga penilaian terhadap kopi jadi berbeda-beda. Ada kopi unggul, sedang, dan biasa saja. Variabel pembentuk keunggulan juga luas. Tidak terbatas rasa (atau output), tetapi input-nya juga dipertimbangkan. Pemilihan tempat menanam, proses penanaman, pengolahan, hingga perendangan (roasting) menjadi krusial. Hal itu mempengaruhi hasil akhir.

Kopi menjadi hal yang kompleks. Namun, kompleksitas ini menarik perhatian banyak konsumen juga. Sejumlah kedai kopi independen di Amerika Serikat dan Australia mulai bergerak ke ranah ini. Mereka membuat kedai kopi artisan, yang tidak hanya transaksional, tetapi ada aspek edukasi. Muncul barista-barista “new wave” yang memberitahu konsumen mengenai apa dibalik minuman yang disajikan. Mereka tidak hanya membuatkan kopi, tetapi juga bercerita.

Konsep ini mulai menarik minat pecinta kopi. Mereka butuh sesuatu yang beyond, dan kini ada di hadapan. Kultur kopi kian diapresiasi, dan kedai-kedai artisan mulai bermunculan di mana-mana. Inilah yang disebut dengan “third wave”. Kompleksitas, keragaman, dan etika mulai dirayakan sebagai pembeda dari konsumsi umum. Mulai muncul para coffee snob. Fenomena ini, antara lain melalui buku dan film Filosofi Kopi, mulai masuk juga di Indonesia. Kini kedai kopi artisan, ekses dari gelombang ketiga, mulai menjamur di mana-mana.

barista ramah third wave

Masuknya fenomena artisan ini juga didukung dengan adopsi kultur kopi dari Australia (terutama Melbourne) yang sudah lebih dahulu mengadopsi gelombang ketiga. Iklim kopi artisan diinisasi eks mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Melbourne. Mereka membuka dan memperkenalkan ragam minuman berbasis kopi yang lantas familiar pasca-Starbucks. Misalnya: flat white, half and half, piccolo, dan sebagainya. Istilah-istilah yang tentu saja membutuhkan post terpisah untuk menjelaskannya.

Aplikasi di Indonesia

Tiga gelombang kopi tersebut tentu tidak secara linier teraplikasi di Indonesia. Sebagai contoh, Starbucks pertama buka di Indonesia pada tahun 2002 di Jakarta (Plaza Indonesia). Butuh waktu beberapa tahun untuk menjadikan kopi second wave untuk hip di sini. Secara kultur, kopi waktu itu dianggap sebagai minuman pekerja dan orang tua. Kopi produksi masal seperti kopi sachet dan kopi tubruk adalah konsensus bagaimana kopi dikenal. Jadi, ada perbedaan kultur yang dirasakan antara masuknya second wave di Indonesia dan asalnya.

Perilaku konsumsi kopi juga berbeda. Second wave di Amerika memunculkan pola konsumsi coffee-to-go, yang sejatinya mengembalikan ke esensi espresso. Pesan, bayar, sesap (atau dibawa), dan pergi. Di Indonesia, pembeli kopi Starbucks cenderung mengonsumsi di tempat. Mereka juga tidak terbiasa dengan espresso dan variannya, karena kebiasaan mengonsumsi kopi-gula. Menu kopi dingin (iced) juga lebih diminati lantaran iklim Jakarta yang lembab dan panas.

Pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah Indonesia mengalami second wave? Starbucks muncul dengan jeda sekitar dua dasawarsa dari ia merevolusi cara orang mengonsumsi kopi di Amerika. Pengaruh datangnya Starbucks di Indonesia adalah mulai maraknya kedai-kedai dan kafe yang utamanya menjual kopi. Kopi tidak lagi menjadi menu pelengkap seperti sebelumnya.

Kafe kembali ke khitahnya dengan menjual caffe. Konsep ini diterima oleh konsumen dan membuka celah pasar baru. Brand lokal seperti Excelso, Anomali, Bengawan Solo, dan sebagainya mulai muncul.

Baca dulu: Sejarah Kopi di Indonesia

Posisi sebagai negara produsen kopi memungkinkan Indonesia untuk menerima ragam varietas kopi. Jenis-jenis kopi mulai akrab di telinga konsumen, terutama kopi gayo, bali, dan toraja yang sebelumnya juga jadi komoditi ekspor. Suplai yang mudah dijangkau, untuk beragam varietas, memunculkan lahan Indonesia untuk segera mengadopsi third wave. Muncul beberapa kedai artisan di akhir dekade 2010-an, yang rata-rata mati-tumbuh karena konsumennya cukup niche.

Di sinilah film Filosofi Kopi (dan rilisan bukunya) membuka celah. Mereka memperkenalkan dalam bahasa yang pop mengenai kompleksitas kopi, hal yang mendasari third wave. Konsumen mulai aware, lalu terbentuk pasar yang kian hari membesar. Sampai saat ini, pasar Indonesia untuk third wave masih bertumbuh. Belum selesai. Suplai berupa kopi dan kedai mulai banyak, tetapi pasarnya belum terlalu siap. Mereka masih mencari transisi antara pola tradisional (kopi gula), konsep Starbucks (iced coffee), dan kompleksitas di dalamnya.

Sampai 2018, pola konsumsi itu masih bisa dipetakan ketika muncul istilah “kopi kekinian” yang merujuk pada amalgamasi pola tradisional dan second wave, yaitu es kopi susu. Paduan antara konsep Starbucks (iced coffee – milk based) dan kopi-gula (manis) yang diminati konsumen umum. Jenis minuman ini meroket dengan sejumlah buzzer, termasuk Presiden RI. Mereka melihat minuman ini sebagai coffee-to-go, yang dipesan dengan jasa ojek online dan sejenisnya. Ini, tentu saja, perilaku unik karena mendapati pola yang berbeda dengan wave di Amerika.

es kopi susu kekinian indonesia


Sebagian besar kedai kopi mulai melihat ini sebagai celah masuk untuk menjangkau konsumen. Mereka, sebagian merupakan kedai third wave, mencoba menggabungkan konsep spesialisasi dan pasar. Jadi, konsep third wave yang sedianya naik di awal dekade 2010-an, kini mulai mendapatkan disrupsi dari permintaan pasar. Mungkin pemetaan mengenai gelombang kopi harus dikaji kembali, khususnya di Indonesia.

Peta Gelombang Kopi Lokal

First wave di Indonesia adalah ketika kopi menjadi minuman rakyat, dengan sumber bahan dari kualitas kedua. Kualitas utama dikapalkan ke negara lain, untuk konsumsi domestik menggunakan sisanya. Rasanya tentu tidak kompleks. Istilah umumnya, “pahitnya saja”, sehingga dikonsumsi dengan gula pasir. Flagship "wave" ini adalah kopi-gula sachet, atau kopi tubruk umumnya. Pola ini masih bertahan hingga kini secara meluas.

Indonesia saat ini mengalami second wave, ketika amalgamasi dua wave kiwari di global datang pada saat yang sama. Konsumen mulai memilih jenis kopi yang lebih pop, dan dikonsumsi sebagai pelepas dahaga di iklim yang berat. Es kopi susu dengan gula (aren) mungkin menjadi flagship dari wave ini, yang jadi pilihan konsumsi banyak orang. Model konsumsi macam ini justru berpotensi membawa metode seduhan kopi jadi nasional.

Indonesia belum mempunyai konsensus seduhan kopi setelah kopi tubruk. Bila dibandingkan dengan Vietnam, dengan kopi tetes (ca phe sua), Indonesia tertinggal. Di Vietnam, metode ini sudah sangat menasional yang memperkenalkan kopi-susu-manis (dalam proses yang kurang lebih mirip dengan Indonesia) sebagai konsensus seduh dan konsumsi. Bedanya, mereka sampai ke proses itu relatif tanpa intervensi wave global.

Bandingkan: Budaya Ngopi di Vietnam

Third wave di Indonesia harus sedikit terhambat kembali. Spesialisasi kini mengalami kemunduran (setback) seperti di awal 2010-an, ketika harus bersaing dengan naiknya permintaan untuk es kopi kekinian. Meski demikian, potensi kedekatan dengan sumber varietas kopi (dari tujuh varietas unggulan, enam di antaranya bisa ditanam di Indonesia) tetap menjadi keuntungan yang kian hari akan membandul ke para pelaku kopi artisan.

---

Kredit foto: Shutterstock dan Hayati Specialty Coffee

Related

third wave 8261983957138745036

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item