Pearl Jam Comes Alive

Rocker-rocker gaek yang bakal merilis album, meski konsekuensinya mengembalikan lagi ketenaran yang justru mereka benci. Oleh: Lorraine ...



Rocker-rocker gaek yang bakal merilis album, meski konsekuensinya mengembalikan lagi ketenaran yang justru mereka benci.

Oleh: Lorraine Ali (Newsweek - Mei 2006)

Eddie Vedder masih juga menulis dengan menggunakan mesin ketik manual. Dirinya juga tetap menyimpan surat dan arsip-arsipnya di dalam sebuah tas tua buatan perang. Kartu-kartu kredit Vedder juga masih tersimpan dalam dompet plastik Batman-nya, sementara sepatunya masih memakai sepatu boot tua dan sepasang kaos kaki warna biru. Tidak ada yang berubah, seperti juga keengganannya untuk membicarakan segala sesuatu tentang Pearl Jam.

Dia lebih suka bicara tentang politik. The same ol' Vedder, meski sekarang statusnya telah meningkat sebagai seorang ayah dari putri berusia 21 bulan, yang suka menyanyikan lagu single terbaru ayahnya itu, World Wide Suicide, di playgroup-nya. "Dia suka menari sambil melantunkan 'Suicide, Suicide'." kata Vedder, "Dan itu membuat saya penasaran apa yang ada di benak orang tua murid lainnya." Sungguh pribadi yang sangat sederhana, jika kita menengok kembali rentang panjang karirnya bersama band-nya Pearl Jam.

Pearl Jam adalah band yang selalu menjaga privasi mereka. Setelah sukses di debut album perdana mereka, Ten (1991) -dengan angka penjualan sebesar 10 juta kopi sampai saat ini, band asal Seattle tersebut justru menolak segala bentuk eksploitasi. Menolak endorsement, kecuali untuk peralatan musik, dan tidak pernah melakukan promosi yang berlebihan, termasuk tidak membuat video-klip yang saat ini sangat terbukti mendongkrak harga jual artis. Ditambah dengan fakta bahwa album mereka cenderung selalu menurun hype-nya dibandingkan album-album pada awalnya (coba Anda sebutkan apa judul dua album terakhir Pearl Jam!).

Meski melawan arus industrialisasi musik, Pearl Jam tetap dianggap sebagai band yang "penting" dewasa ini (atau justru karena mereka melawan-kah?). "Hal yang mengancam adalah justru standar normalisasi kehidupan manusia di dunia sekarang ini," ujar Vedder (41 tahun), di markas Pearl Jam yang berada di luar kota Seattle. "Ketika kita mulai melihat identitas hanya berdasarkan persepsi publik, apa yang diinginkan publik. Hal ini sangat sering saya lihat. Banyak orang yang melakukannya, dan beberapa diantaranya sangat meyakinkan, dengan imej mereka terhadap publik. Saya sendiri? Saya memilih untuk melakukan kebalikannya.'

Dan apa yang dikatakan Vedder tersebut bisa kita dengarkan dari nyanyiannya di album terbaru Pearl Jam. Album tersebut adalah album mereka yang ke-8, dan yang pertama dirilis di bawah J Records (label yang merilis album-album Alicia Keys dan Chris Brown). Album ini juga merupakan album yang paling spontan dirilis sejak album ketiga mereka, Vitalogy (1994). Masih adakah yang mendengarkan lagu-lagu Pearl Jam? Sejauh ini sih, masih. Radio mulai memutar kembali lagu Pearl Jam, dengan singel World Wide Suicide bertengger di puncak tangga lagu modern rock Billboard. Dan frekuensi airplay-nya lumayan banyak untuk singel perdana dari album yang rencana dirilis 2 Mei ini.

Seperti yang kita duga, bahwa Pearl Jam sebetulnya agak terganggu dengan frekuensi pemberitaan dan perhatian menyusul keberhasilan singel mereka tersebut. Di sebuah gudang tua, yang juga merupakan kantor TenClub dan ratusan reel rekaman Pearl jam, para personil Pearl Jam tengah berbaris menunggu sesi foto. Sambil terdiam, seperti halnya tahanan yang menunggu regu tembak menyiapkan amunisi. Sukses sebelumnya, dengan puluhan konser keliling dunia telah menahbiskan Pearl Jam sebagai band yang punya banyak fans.

Pertanyaannya: perlukah mereka menjalani ritual promosi seperti itu lagi? Jawabannya ternyata bersifat politis. "Sudah cukup banyak suara-suara yang berisi frustrasi dan kemarahan mengisi atmosfer bumi sekarang ini," tukas Vedder (seorang perokok aktif, meski kualitas vokalnya seakan tidak pernah terpengaruh oleh hal itu). "Kita tidak ingin menambah polusi suara tersebut, tapi lebih ingin berbuat sesuatu. Sekarang bukan waktunya untuk bersikap sinis. Lihat saja, pajak kita dulunya untuk membiayai perang dan sekarang digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan besar -salah satunya milik Dick Cheney- dan makin tajamnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal-hal seperti itulah yang sangat menyakiti perasaan saya." Sambil tertawa, Vedder menambahkan. "Tapi hal itu juga membuat saya berasa awet muda."

Album baru Pearl Jam masih tetap melancarkan serangan-serangan atas pemerintahan Bush. Album tersebut juga merupakan perpaduan sebuah album rock n roll (yang menunjukkan akar classic rock dan gunge/punk mereka) dengan pandangan politik Vedder. "There is a sickness, a sickness coming over me/Like watching freedom being sucked straight out to sea." Vedder lebih banyak memberikan sebuah gambaran sosial daripada menyampaikan ide-idenya. Di dalam lagu Unemployable, Vedder menggambarkan seorang buruh yang tengah frustrasi karena baru saja dipecat, dan mempertanyakan di mana agama berada ketika orang seperti mereka ada di situasi seperti itu. "Musik, paling bagus ketika bisa menemukan tujuannya." ujar Vedder. "Di masa-masa sekarang, dimana semuanya serba formalitas dan kepalsuan, tujuan kita adalah 'Kita akan membuat seperti ini.' Dan sepertinya itu menjadi landasan yang bagus."

Pearl Jam selalu memiliki tujuan. Mulai dari perang melawan Ticketmaster di tahun 1994 -di mana gitaris Stone Gossard dan bassis Jeff Ament bersaksi di hadapan kongres menuntut penyelidikan antitrust atas Ticketmaster- sampai 2004 lalu selama tur Vote for Change. Pearl Jam dibentuk pada saat isu tentang perang teluk pertama tengah hangat di tahun 1991. Vedder, yang saat itu berumur 24 tahun tinggal di San Diego. Dia menerima demo dari Gossard, Ament dan juga gitaris Mike McCready. Vedder kemudian mengirimkan kembali demonya ke Gossard di Seattle setelah menambahkan vokalnya di dalam kaset tersebut. Seattle, saat itu, adalah suatu tempat di mana band-band underdog seperti Nirvana dan Soundgarden tengah sukses digaet oleh major label.

"Ada semacam elemen kultural yang terjadi di Seattle, sebetulnya. Dan itu tidak ada hubungannya dengan label rekaman sama sekali," tukas drummer Matt Cameron, yang bergabung bersama Soundgarden sebelum masuk ke Pearl Jam di tahun 1998. "Itu adalah ground zero, di mana orang dari penjuru Amerika tiba-tiba datang dan berharap menjual berjuta-juta kopi. Hal itu adalah evolusi yang alamiah, dan saya pikir momen seperti itu belum pernah terjadi lagi."

Tapi scene tersebut juga terbukti berdampak negatif, berupa penggunaan heroin secara serampangan, dan etos yang diyakini benar oleh musisi-musisi Seattle: lebih baik mati mendadak daripada mati pelan-pelan (meski bukan etos yang familiar di dunia rock n roll, tetapi band-band asal Seattle sepertinya sangat memegang teguh keyakinan tersebut). Pearl Jam adalah salah satu diantara (sangat) sedikit band yang masih tetap berdiri saat ini. "Stone dan saya banyak melakukan kesalahan saat masih di band lama kami, Mother Love Bone," ujar Ament, "dan itu bisa disimpulkan ketika Andy [Wood, vokalis MLB] meninggal. Saat itu kita sudah dikontrak major label, dan mereka sudah mengeluarkan 300.000 dollar untuk biaya rekaman, serta keperluan promo.

Setelah Andy meninggal, kita masih menyisakan hutang sebesar 40.000 dollar kepada label sementara kita sudah tidak lagi punya uang. Saya pikir, kalo misalnya nanti ada kesempatan untuk bikin band lagi, kita tidak bakalan melakukan kesalahan yang sama. Untungnya, album pertama Pearl Jam sukses, dan dengan demikian mereka (major label) bisa tetap memperbolehkan kita meneruskan langkah kita selanjutnya, secara bebas. Dari situlah konsep band kami terbentuk." Yang jelas, mereka sekarang menjadi seperti apa yang dikatakan Vedder: moderat. "Seperti: 'Maaf, kita terlalu populer.' 'Maaf, saya juga lebih suka Mudhoney dibanding dengan band kita sendiri'." Mereka mencoba berbagi "kesejahteraan" yang mereka dapat dengan mengalihkan pendengar mereka ke musik dari band/orang lain. Melakukan tur dengan beberapa band-band kecil lain, serta melakukan siaran radio sendiri.

Prinsip survival dan berbagi semacam itu kini bukan lagi menjadi permasalahan utama bagi band. Menghindarnya Pearl Jam dari gemerlapnya dunia industri musik, penolakan status rockstar, membuat album yang makin idealis serta peran Vedder dalam aktivitas politisnya justru makin membuat tebal fanatisme fans mereka -meski secara keseluruhan jumlah penggemar yang tidak fanatik bisa dibilang menurun; dan juga fakta bahwa angka penjualan album terakhir (Riot Act) hanya sepersepuluh dari penjualan Ten. Apakah Vedder risau dengan hal-hal seperti itu?

Jawabnya: "Jika kita bisa survive dan tetap bermain musik, membuat album dan melakukan konser...serta menghidupi keluarga kita, membahagiakan komunitas kita (fans) dan juga teman-teman kita sendiri -di situlah tujuannya. Jika kita mampu mencapainya dalam keadaan industri musik seperti saat ini, itu akan jauh lebih baik. Mungkin bisa juga sebagai pertanda bahwa industri musik belum sepenuhnya "tercemar" oleh nilai-nilai komersialisme."

Dengan kata lain, semuanya bukan melulu tentang uang -meski pendapat Vedder tentang "surviving" sama dengan asumsi kita tentang uang yang banyak- dan juga belum tentu tentang politik. It's all about the music, dan hanya sedikit musisi yang mampu menerjemahkan konsep itu sebaik Vedder dengan idealisme transedental-nya tentang proses kreatif dan inspirasi bermusik. "Saya membayangkan ada semacam "sorotan" ketika sebuah muncul," ujarnya, "dan jika kita tidak sesegera mungkin menerjemahkan ide tersebut, mungkin (ide tersebut) akan berubah menjadi sesuatu yang bukan seperti bayangan kita semula. Apa yang mungkin bisa membuat ide tersebut jadi bagus, malah nantinya hilang. Dan mungkin juga masih bagus, tapi sekali "sorotan" itu mengenai otak kita -ya sudah. Kita harus melindunginya terlebih dahulu sebelum segala "sorotan" itu tiba."

Vedder juga berpendapat: "Bagi saya, menyelesaikan album ini adalah pencapaian yang sangat melegakan. Otak saya sudah seperti iPod, minus earphone -banyak ide dan musik di sana, yang menunggu untuk "disalurkan. Ketika rekaman selesai, rasanya (ide dan musik) sudah tersalurkan. Saya juga punya puteri berumur 21 bulan, dan tentunya saya tidak akan membiarkan dirinya tumbuh liar, dengan ayahnya yang seperti professor gila ini. Seromantis mungkin, saya pikir dia juga berhak yang terbaik dari saya." Pearl Jam yang dulunya bermasalah dengan persoalan seputar ketenaran dan uang, sekarang permasalahan mereka adalah banyaknya inspirasi yang harus disalurkan. Dan dengan seperti itupun mereka masih sangat bagus, jadi sungguh memalukan bagi kita yang berpendapat segala sesuatunya (dalam hidup) adalah serba-susah.

Related

pearl jam 9153807845807385452

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item