Duh, Kok ke Vietnam


"Pah, kita jadinya ke Vietnam. Tolong urus cuti, Maret ini."

Januari tahun lalu, di acara tahunan Equine Global diumumkan destinasi reward trip untuk pencapaian 2016. Ketika disebutkan Vietnam, ada awkward silence di auidens. Setelah diumumkan bahwa destinasi bisa bergeser (jauh) ke Eropa Barat, baru audiens bersorak. Syaratnya, capaian tahun 2016 mesti meyakinkan.

Saya umat yang ikut bersorak kala slide mengenai Eropa ditampilkan. Tahun lalu, reward trip 2015 mengambil destinasi Beijing. Ketika diumumkan pada 2014, ketika kami di Korea dalam rangka reward trip, saya sempat berkata ke istri:

"Wah, ngga terlalu semangat kalau ke Beijing sih."

Tuhan mengabulkan. Tahun lalu kami tidak berangkat. Sampai akhir tahun lalu, istri saya masih mendorong pencapaian kerja timnya agar bisa memenuhi kuorum ke Eropa. Tapi hasilnya kembali ke awal tulisan.

Sebagai wong ndeso dan kampungan, hasrat saya selalu ingin mengujungi daerah yang (lebih) maju dari tempat tinggal. Eropa punya semuanya. Korea, okelah. Australia juga menyenangkan. Saya berpikir Vietnam adalah Indonesia di tahun 1990. Ho Chi Minh City layaknya Semarang. Atraksinya bangunan lama, ditambah cerita peninggalan perang Vietnam yang kini dikemas sebagai gimmick wisata.

Saya clueless tentang Hanoi. Ketika browsing, ekspektasi saya tidak tinggi. Dari daftar itinerari, kunjungan ke pagoda dan kuil, dan diselingi naik becak jelas sesuatu yang cukup familiar. Setali tiga uang dengan atraksi di Yogyakarta, Solo, dan Semarang itu tadi.

Yang membesarkan harapan adalah testimoni beberapa teman yang sudah pernah mengunjungi Vietnam. Tahun 2015, ada undangan dari relasi sinema untuk meliput pembuatan film Kong: Skull Island (yang tengah running di bioskop, sekarang) di Ninh Binh. Saya mengopernya ke rekan kerja, dan ia menulis untuk Kompas tentang bagaimana Vietnam meninggalkan kesan.

Satu lagi, fakta bahwa Vietnam eksportir kopi nomer dua terbesar di dunia juga membuat semangat. Dari kawan yang sempat bekerja di sana, saya menerima tip untuk venturing kopi di negeri Paman Ho. Tentu saja, bukan karena kasus sianida, kopi Vietnam sudah duluan dapat nama di Indonesia.

"Di Saigon bakal banyak lihat cewek pake hot pants naik motor," kata kawan yang lain.

Mungkin Vietnam (bakal) tak terlalu buruk juga. Yang jelas, saya sami'na waata'na (mendengar dan taat) saja terhadap perjalanan yang sudah diorganisir ini. Hitung-hitung menambah pin daerah yang dikunjungi, pada peta dunia yang dipasang di ruang tamu.

Di Vietnam, kami akan mengunjungi Hanoi, Halong Bay, dan Ho Chi Minh City selama 5 hari.

Related

VietNow 3107959771276898454

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item