Nostalgia Wahana Purba

Saya ingat, tahun 1994, pengalaman sinematis yang berkesan. Duduk di tangga Magelang Theatre, karena tidak kebagian tempat, ketika Jurass...


Saya ingat, tahun 1994, pengalaman sinematis yang berkesan. Duduk di tangga Magelang Theatre, karena tidak kebagian tempat, ketika Jurassic Park diputar.

Dino-freak sejak kecil, saya mempunyai puluhan miniatur reptil-reptil raksasa itu. Favorit saya, triceratops, tyranosaurus, brontosaurus, pteranodon, dan stegosaurus. Oleh sebab itu, saya ingat betul wow-moment ketika melihat Steven Spielberg menghidupkan mereka, terutama di scene Ian Malcolm (Jeff Goldblum) melepas kacamata hitam dari jipnya ketika melihat brachiosaurus. Lantas mengalun latar musik yang dibuat John Williams.

Demikian Jurassic Park menjadi legenda. Peninggalan berharganya, aset besar film, adalah visualisasi dinosaurus dan moral of the story yang keluar dari mulut Malcolm. Yang lain, tentu saja velociraptor, sosok dinosaurus yang mendadak populer gara-gara menjadi antagonis. Oh, satu lagi, ilmu survival ketika berhadapan dengan T-rex juga tentu berkesan.

Menyusul dua sekuel berikut, tampaknya wow-factor mulai berkurang. Pengalaman sinematis menonton Lost World masih seru. Tapi ya, that's it. Thrilling saja (sedikit senang stegosaurus mendapat porsi layar walau sedikit).

Jurassic Park III coba menarik minat dengan mengenalkan spinosaurus, untuk mockery terhadap maskot seri I dan II (tyranosaurus). Karena cerita yang tidak terlalu complicated, instalasi ketiga ini agak kurang memberikan pengalaman sinematis. Sam Neill tidak terlalu diharapkan sebagai protagonis, karena di seri pertamanya saja ia tenggelam di bawah karakter Malcolm. So, dengan asumsi dino-freak yang hip di tahun 1993, ketika Jurassic Park rilis, kini sudah dewasa, apa yang bisa ditawarkan Jurassic World?

Sekuel ketiga (instalasi keempat) ini menawarkan nostalgia. Pada siapa? Pada seri aslinya, tentu. Lagipula sekarang eranya reboot. Jadi seri ini semacam mini-reboot lantaran penuhnya trivial dan easter eggs yang merujuk pada film pertama.

Berbeda dengan dua seri sebelumnya, Jurassic World kembali ke Isla Nublar, tempat Jurassic Park impian John Hammond hancur berantakan tanpa sempat buka untuk umum. Milyuner baru merestorasi theme park dan safari purba itu. Cynically, disebutkan tersirat dalam film mengenai "basi"-nya dinosaurus lama (sama saja seperti melihat gajah, katanya). Jadi, diperkenalkanlah dinosaurus hasil modifikasi genetis bernama indominus rex. Sebesar tyranosaurus tapi ditambah macam-macam DNA.

Plot-wise, tentu bisa ditebak (as seen on trailer), si i-Rex (astaga Tuhan, sisipan sponsor ternyata) ini menjadi t-Rex di film keempat. Eccentric billionaire, dua anak kecil, satu perempuan, dedicated staff, dan (ehm) insider trading akan mengingatkan kita ke Jurassic Park bukan?

Belajar sedikit dari gagalnya Sam Neill (Dr Grant), Chris Pratt di sini menjadi sosok yang lebih bisa dipercaya untuk men-tackle dinosaurus. Alur Jurassic World kembali ke theme-park ride. Bersenang-senang, wow-effect, lalu tegang. Begitu saja. Dan masih berhasil. Mungkin hanya bagian endingnya, yang bagi dino-freak is absolute coolness, tapi lumayan WTF-scene bagi penonton biasa. Agak mirip seperti film Godzilla jaman dulu.

Jurassic World jelas lebih menyenangkan di banding film sebelumnya. Saya akan menyebut 50% faktor karena plotnya yang lebih simpel. Separuh sisanya karena nostalgia. Melihat trivial scene, saya selalu teringat momen sinematis di film pertama. Logo yang membekas, dan kendaraan jip krem yang juga memorable. Dinosaurus?

Well...I don't think I have any space left for i-Rex.

Related

STICKY 6041673952498456824

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item