Selusur Saigon


Saigon telah menjadi metropolis sejak lama. Menggeliat sebagai pusat perdagangan, kota yang didirikan di tepi sungai bernama sama ini menjadi agropolis, tempat bertemu komoditas dari Vietnam tengah dan pertanian di delta sungai Mekong.

Setiap hari ada empat juta motor yang masuk Saigon. Kebanyakan dari daerah penyangga yang menjadikan luasan total kota besar ini mencapai 2.000 kilometer persegi. Kota ini secara umum mirip Jakarta. Panas, macet, banyak motor, dan tersekat-sekat.

Di Saigon kita mengenal distrik. Ini warisan skema arsitektur modern yang membagi wilayah-wilayah sesuai dengan fungsionalnya. Ada 24 distrik di Saigon. Tujuh di antaranya bernomor. Yang paling ramai adalah Distrik 1.

Distrik 1 merupakan pusat komersial dan niaga. Di distrik ini, jantung ekonomi kota berdenyut bersama Ben Thanh Market, pasar terbesar di Saigon, serta bangunan-bangunan tuanya. Distrik ini adalah amalgamasi segala tujuan pelesir ke kota ini. Dari hedonis, filosofis, hingga historis.

Hari terakhir di Saigon kami habiskan dengan berbelanja di Ben Thanh. Ini cocok dengan kebiasaan pelancong Indonesia yang bersiap membawa oleh-oleh untuk kerabat dan teman kerja. Saya sebetulnya bukan masuk golongan ini. Saya tidak membawa oleh-oleh kecuali catatan dan pengalaman usai pelesir.

Tapi saya menantikan momen belanja juga tiap travel. Membeli pengalaman artinya membeli souvenir juga kadang-kadang. Tapi buat diri sendiri. Saya juga lebih suka membeli barang di tempat orang lokal beli barang. Destinasi favorit? Supermarket.

Kami mencari supermarket terdekat dari Ben Thanh. Hasil penelusuran membawa kami ke Saigon Central, dengan anchor-tenant Takashimaya. Di bawahnya ada Gourmet Central, supermarket besar. Jadilah kami ke sana berbelanja susu kental manis khas Vietnam yang mengandung garam sehingga kopinya gurih.

Dari Saigon Central, dengan free time yang hanya satu setengah jam, kami bergegas ke Trung Nguyen Legend yang ada di seberang untuk membeli kopi. Ini relatif lebih "sepi" dibanding kafe sama di depan Ben Thanh karena mempunyai tiga lantai. Kalau senggang, bisa duduk di teras lantai tiga dan melihat perempatan Le Loi yang sibuk.

Di sepanjang jalan Le Loi terdapat beberapa toko yang menyediakan suvenir eklektik, unik, dan kekinian. Mereka berasal dari industri kreatif yang menghasilkan barang artisan. Coba ke Ginkgo atau L'Uisine. Bisa mencari kaos, tas, essential oil, bahkan kopi artisan.

Waktu dan VND kami tidak banyak, jadi melewatkan beberapa spot menarik. Jam 6 sore pasar Ben Thanh tutup. Setelahnya, di depan pasar jalan akan ditutup dan jadi pasar malam pada Jumat hingga Minggu. Bis yang menunggu kami tidak bisa lama-lama parkir di jalan yang menjadi pick up point kami.

Dari Ben Thanh kami menuju ke pelabuhan sungai Sai Gon untuk makan malam sekaligus acara penutupan reward trip. Kami makan di atas kapal yang menyusuri sungai Sai Gon ke arah utara.

Susur sungai ini memberikan wajah Saigon yang tidak dipunyai Jakarta. Pengalaman ini, sekali lagi, tentu menjadi cerita menarik. Kita bisa menarik kesimpulan mengapa banyak bangunan peninggalan Perancis yang dibangun di tepi dan menghadap sungai. Mungkin mengingatkan mereka akan Seine yang membelah Paris.

Dari sungai terlihat juga tekstur Saigon. Gemerlap lampu dan reklame, untuk sesaat membuat kami lupa ini di Vietnam. Setelah segala keteraturan di utara, kota ini vibran, terbuka, dan heterogen.

Dari sungai juga kita bisa mendapatkan cerita mengenai perdagangan yang ada di Saigon. Perancis memilih karena akses sungainya yang terhubung ke Laut Cina Selatan. Kapal besar bisa masuk sampai ke dalam, melalui celah yang tidak lebar. Hal itu berarti secara pertahanan juga bagus.

Ironi ini yang kemudian membawa nasib Saigon. Sentra nan ramai tapi kemudian juga menjadi sasaran tembak karena posisi strategisnya.

- Saigon, 19 Maret 2017

Related

vietnam 9113835893268280219

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item