Meneladani Bapak dari Nasehat Luqman



Salah satu dialog penting saya dengan (almarhum) Hasyim Afandi (ayah saya) terjadi di Mekah, 7 tahun lalu. Kami berdiskusi mengenai hal yang dibawa ke ahirat. Anak salih, ilmu yang bermanfaat, dan amal jariah.

Ketika saya menanyakan apa yang bisa dilakukan untuk menolong Bapak nantinya, ia menjawab tidak bisa bergantung pada satu pokok (anak) saja. Hidup, menurut Bapak, ia gunakan untuk mencari sebanyak-banyak penolong di akhirat.

Di kesempatan terpisah, saya menemukan self discovery tentang hal ini. Masih sama-sama di Tanah Suci, pada suatu ketika saya tiba di akhir Surat Luqman (Quran: 31). Akan tiba suatu masa seorang ayah tidak bisa menolong anaknya, dan sebaliknya.

La yajzi walidun aw-waladihi, wa la mauludun huwa jazi aw-walidihi.

Ayat tersebut relevan dengan apa yang kami (saya dan Bapak) diskusikan. Saya kemudian kerap membaca (dan berusaha memahami) Surat Luqman untuk mendapatkan konteksnya. Surat tersebut banyak membahas mengenai prinsip hidup, dari sudut pandang seorang ayah yang menyiapkan anaknya.

Ketika Bapak meninggal dunia, Senin (5/7) lalu, saya teringat dengan kenangan diskusi kami dan Surat Luqman. Setelah meresapi, dan membandingkan, sebetulnya prinsip hidup Bapak yang kami saksikan, sama dengan wasiat Luqman ke anaknya.

Wa may yasykur fa innama yasykuru li nafsih.

Bersyukur kepada Tuhan. Fondasi terkuat Bapak, menerima dan mensyukuri segala apa yang ada. Manifestasinya dalam kebersahajaan, yang sangat tampak pada pola hidup beliau. Tidak pernah meminta hal-hal yang berlebihan, dan selalu menikmati apa yang didapat pada saat ini.

Bapak tinggal di berbagai bentuk rumah. Dari rumah candi di Besaran, rumah dinas Departemen Agama, rumah dinas Bupati Magelang dan Temanggung, hingga menetap di rumah Pondok Pesantren. Semua ditinggali, digunakan untuk salat dan mengaji, dengannya dihidupi.

Saya tidak pernah melihat standar Bapak menjadi berubah karena sudah pernah merasakan tinggal di rumah dinas Bupati misalnya. Atau mengeluh untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Di manapun ia tinggal, ia menempati hidup, dan menghidupi tempat itu. Manggoni urip, nguripi panggon.

Anisykurli wa li walidaika.

Bangga dan berbakti ke kedua orangtua, sebagai wujud syukur dan taat kepada Allah. Mensyukuri asal muasal. Bapak berbinar-binar kalau cerita orangtua, keluarganya, masa lalunya. Anak pedagang tahu dari Klewogan, Parakan.

Kehilangan orangtua dalam usia yang relatif muda, Bapak tidak pernah kehabisan lahan bakti. Ia merawat ukhwah dengan sangat baik terhadap seluruh keluarga, sanak saudara, guru, dan sejawatnya.

Ya’ti bihallah, innallaha latifun khabir.

Tuhan Maha Teliti, segala sesuatu tercatat oleh-Nya dan akan mendapatkan balasan. Manifestasinya adalah akuntabel dalam hidup, dengan akuntabilitas utama adalah kepada Tuhan. Segala sesuatunya (termasuk keputusan-keputusan) bisa dipertanggungjawabkan di akhirat.

Bapak sangat kalkulatif terhadap apa yang jadi hak siapa. Kalkulatif terhadap perkara yang nantinya dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Hal ini rasanya yang membuat beliau bisa bertahan (insyaallah) amanah ketika menjabat (sebagai Bupati) dan berkarier (di Departemen Agama).

Aqimis shalata wa’mir bil ma’rufi wanha anil munkar washbir ala ma ashobaka.

Salat, jauhi kemungkaran dan perkara batil, serta selalu sabar. Nasihat yang selalu saya terima dari Bapak: “Salat, sabar.” Sabar ini sangat menonjol, kareha jalur hidup Bapak itu penuh perjuangan dan kehilangan-kehilangan.

Bapak kehilangan sosok ayah sebelum usia 30, dalam kondisi belum mapan. Sebagai sarjana ilmu perbandingan agama, ia kemudian meneruskan usaha pabrik tahu, yang diakuinya kurang berhasil. Ia sempat menjadi guru sekolah, sebelum akhirnya masuk sebagai PNS di usia 32 tahun. Proses ini diselingi dengan meninggalnya kakak perempuan Bapak, saudara kandung satu-satunya.

Di usia 40, giliran ibu (nenek saya) yang meninggal dunia. Bapak resmi menjadi yatim piatu di kala kariernya (pegawai Departemen Agama) tengah menanjak. 5 tahun berselang, istri Bapak (ibu saya) meninggal dunia. Saya, yang kini menjalani bingkai waktu (usia) hampir sama, menjadi sangat menghargai kesabaran Bapak. Ia menerima dan move on. Washbir ala ma ashobaka (sabar terhadap apa yang menimpa).

La tusho’ir khoddaka linnas.

Tidak pernah memalingkan muka dari orang lain, rendah hati, dan tidak pernah bersuara tinggi (waghdhudh min shoutik). Sesuai nasehat Luqman, ini akhlak Bapak yang menonjol rasanya. Yang saya tangkap, meninggalkan kesan bagi banyak orang.

Bapak selalu menerima siapapun yang datang kepadanya. Kadang pada momen seperti Lebaran, Bapak menghabiskan lebih banyak waktu dengan tamu dibanding dengan kami, keluarganya.

Bapak selalu memastikan berpakaian yang layak kepada siapapun. Pernah suatu ketika, ketika menginap di rumah, ia menegur saya karena menemui satpam kompleks (yang datang ke rumah) hanya dengan celana pendek.

Beliau juga sangat ringan untuk datang ke undangan, takziah, dan acara lainnya. Saya mengambil kalender yang tergantung di rumah, sebagai memento. Kalender tersebut adalah sekretarisnya, outlook calendar, penanda aktivitas Bapak sehari-hari. Dalam usianya (75), beliau masih menyempatkan anjang ke Srumbung, atau Kaliangkrik, daerah di lereng gunung Merapi dan Sumbing.

“Saya belum pernah lihat Pak Hasyim kodo (marah-marah),” kata banyak orang. Bapak sangat jarang sekali berbicara dengan nada tinggi, membentak, atau frustrasi. Ini terjadi juga pada kami, keluarganya. Bahkan, sepanjang hidup saya, tidak sekalipun Bapak frustrasi (emosi berlebih, mengumpat, dan sebagainya). Betul-betul manifes “waqshid fi masyika waghdhudh min shoutik”. Sederhana dan merendahkan suara.

---

Pola-pola tersebut rasanya yang kemudian membawa ke pribadi Hasyim Afandi yang kita kenal. Bapak yang saya (anaknya) kenal, sama dengan Pak Hasyim yang dikenal orang. Bapak tidak berperilaku beda terhadap kami maupun orang lain. Ini membuktikan prinsip hidup yang konsisten.

Wallahualam kini, prinsip tersebut sengaja dipola sesuai dengan nasehat Luqman atau tidak. Tetapi melihat CV Bapak, dari sisi yang lain bisa jadi bukti kebenaran kitab suci sebagai kunci sukses hidup.

Wa may yuslim wajhadu ilallah, wa huwa muhsinun, faqadistamsaka bil urwatil wusqa.

Barangsiapa berserah kepada Tuhan, dan masih berbuat kebaikan, sesungguhnya ia telah berpegangan pada tali yang kuat (urwatil wusqa).


***

Renungan 3 hari wafatnya ayah kami, Hasyim Afandi. Semoga Tuhan melimpahkan kasih dan ampunan kepada beliau.

Related

STICKY 2177724131383477209

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item