Ibadah Berjamaah di Indonesia

Setelah terhempas oleh front rows konser Metallica di Singapura, saya masih mempunyai satu lagi itinerari untuk menghadiri konser di ru...


Setelah terhempas oleh front rows konser Metallica di Singapura, saya masih mempunyai satu lagi itinerari untuk menghadiri konser di rumah sendiri. Selang sehari, saya sudah harus berdiri lagi di Gelora Bung Karno (GBK) bersama puluhan ribu orang yang akan menonton Lars Ulrich di Jakarta. Yang terpikir pertama adalah, bagaimana mungkin dengan energi yang terkuras habis sepanjang konser, ditambah upaya melelahkan untuk mencari taksi setelahnya akan membuat saya mampu mengikuti konser lagi.


Ditambah, saya tidak pulang ke hotel, melainkan langsung ke Changi Airport pada jam setengah dua dinihari, untuk menanti first flight pukul 6 pagi yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Sambil tidur ngampar di Changi, saya berpikir untuk menukar tiket festival yang saya miliki dengan tempat duduk di tribun. Pilihan yang realistis.

Sesampai di rumah, sekitar pukul 8 pagi, saya langsung mengganti kompensasi tidur hingga tengah hari. Bangun tidur, saya memutuskan untuk tetap menjalani festival. Hanya saja, datang santai, it's okay menikmati dari belakang. Pengalaman terakhir menonton konser sambil duduk ketika Incubus tidak membuahkan kepuasan.

Selang satu jam, sekitar jam 2 siang, update mengenai situasi GBK mulai terpantau di Twitter dan media sosial lainnya. Antrian menunggu gate mulai terbentuk. Metalli-temptation saya berbisik ke otak: "Screw it, let's go to another front row!"

Maka meluncurlah saya ke GBK jam 3 sore. Sesampai di sana, saya langsung bergabung dengan antrian di Red Gate bersama orang-orang yang menunggu pintu dibuka. Jam 5 sore, begitu pintu dibuka, seperti scene di DVD Live Shit Seattle, kami berlari untuk menggapai front row. Dan tak tahu kenapa, mengabaikan rasa lelah, saya sudah berdiri lagi di front rows konser Metallica untuk kedua kalinya dalam dua hari.

Beruntung penonton di Indonesia lebih "toleran", ketika bersama-sama menunggu band pembuka dengan duduk. Lumayan, dari jam 5 sore hingga pukul 7 malam. Di Singapura, saya tidak bisa duduk menunggu dua band pembuka hingga Blondie, il buono, menembakkan peluru kanon ke Tuco, il cattivo sebagai penanda The Ecstasy of Gold. Waktu adisional berdiri di luar 2,5 jam konser adalah sekitar 4 jam.

Ketika konser dimulai, crowd Indonesia juga lebih "manusiawi". Karena menunggu sambil duduk, maka ketika berdiri, space orang-per-orang sedikit lebih lega. Di sini juga tidak banyak terlalu banyak gerak. Sebagian besar, ketika Hit the Lights ditabuh, mengeluarkan gadgetnya untuk memfoto Metallica di panggung. Baru ketika Master of Puppets ada sedikit "dinamika" pada front rows.

Nilai lebih menghadiri konser di Indonesia adalah kesempatan untuk menjadi bagian dari peristiwa komunal bersejarah. Kesempatan sharing pengalaman dengan rekan-rekan sebangsa, sebagian adalah keluarga, kawan, kerabat, dan tetangga. Pengalaman menonton Metallica di Singapura lebih terasa sebagai pengalaman individu. Sementara di Indonesia tentu beda karena nilai komunal itu.

Karena di front rows, saya tidak mengamati bagaimana overall 60.000 penonton di GBK behave di sepanjang konser. Tapi untuk beberapa masa, ketika lagu paling terkenal seperti Nothing Else Matters atau Enter Sandman didendangkan, koor massal terdengar megah. Ini kemudian memicu Metallica Tour Journal menuliskan bahwa koor Sandman di Jakarta "...adalah yang terkeras setelah sekian lama."

Di samping itu, menonton dua kali memberi saya kesempatan untuk mengejar apa yang tidak ada di konser sebelumnya. Setlist misalnya.

Metallica menganut core setlist yang tetap untuk dibawakan dalam satu tur. Di sela-sela, ada sekitar 4-5 lagu yang dirotasi untuk konser yang berurutan. Di Singapura, saya mendapatkan Broken Beat and Scarred, The Memory Remains, And Justice for All, dan Battery yang tak terdapat di dalam setlist Indonesia. Sebaliknya, publik Singapura tak mendapatkan Fuel, Cyanide, Orion, dan Fight Fire with Fire. Total dalam 2 hari, saya mendapatkan 23 lagu berbeda. Complimentary one for another.

Setlist-wise, karena album favorit saya adalah Ride the Lightning, maka mendapati 5 lagu Lightning dibawakan di GBK really is a treat. Di Indonesia juga berkesempatan mendengarkan langsung Orion, lagu yang sangat berkesan bagi saya. Sisanya, secara performance, Metallica menjawab kelasnya dengan mampu menghadirkan suguhan berkelas. Bagi banyak orang di Indonesia yang hadir, tentu konser Ahad (25/8) kemarin adalah their best concert ever. Terlebih, kesenangan itu dinikmati secara kolektif.

Usai konser, sekitar setengah satu dinihari, saya kembali ke rumah di Bintaro. Sekitar 20 km dari venue. Karena belum makan malam, saya memutuskan singgah ke McDonalds yang buka 24 jam di distrik Emerald, Sektor IX. Hebatnya, McD Bintaro Emerald yang kala siang hari sering sepi, malam itu penuh dengan konsumen yang sebagian besar berkaos hitam dan bertuliskan Metallica!

Dua hari ter-Metallica. Dua-duanya memberi nuansa. Yang pertama, menonton Metallica di Singapura adalah ibadah individual yang terpenuhi dengan moshpit tergila, penyaluran energi sempurna. Yang kedua adalah ibadah jamaah dengan berbagi kebahagiaan bersama 59.999 orang lain di GBK.

(Foto courtesy of Metallica.com)

Related

music 2442138441277612498

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item