Mengembalikan Musik ke Ranah Komunal

Agustus tahun 1999. Saya yang baru lulus untuk kali pertama menyambangi kota Solo sendirian. Keperluannya untuk registrasi kuliah di...



Agustus tahun 1999. Saya yang baru lulus untuk kali pertama menyambangi kota Solo sendirian. Keperluannya untuk registrasi kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), selepas dipastikan lolos dalam UMPTN. Clueless for almost about everything, petualangan di mulai, dan long story short, saya terdampar di auditorium UNS bersama ratusan calon mahasiswa baru lainnya.


Di deret tempat duduk, berdampingan saya dengan dua orang calon mahasiswa lain yang satu jurusan. Satu dari Klaten, dan satu akamsi (anak kampung situ) yang lulusan sekolah Solo. Ice-breaking conversation mengalir, dibantu oleh topik yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.

"Suka musik?" tanya saya.
"Iya, musik rock terutama," jawab sebelah saya.
"Wah, rock yang seperti apa?" saya menyelidik.
"Semacam Metallica," jawabnya.

Wah, ini crossing path yang unik - waktu itu. Seolah seperti takdir, hari di sekitar kepastian Metallica datang di Indonesia dan pembukaan ticket box, kami bertemu kembali. Tentu perbincangan perdana jadi momen nostalgia, bahwa faktanya kami membuka perkenalan melalui Metallica. Ini membuat pikiran saya kembali melesat ke masa lampau, dan menyadari fenomena band asal San Fransisco ini sungguh dahsyat. Di manapun, saya pasti menemukan orang dengan persinggungan berupa kesukaan dengan Metallica. Atau setidaknya kenal.

Masa kecil saya habiskan di dusun tengah Jawa yang sebagian besar rakyatnya mendengarkan dangdut. Atau Deddy Dores dan pop menye lainnya, setidaknya. Tetapi, semua pasti mengenal Metallica dan Guns N Roses, dua band rock mainstream yang persebaran kasetnya jauh lebih merata dibandingkan distribusi BLSM. Penggemar dangdut di siang hari, tapi mendengar Sad But True di malam hari.

Ketika SD, kakak saya sering rehearsal lagu-lagu Metallica bersama teman-temannya di rumah. Influence besar sepertinya datang dari mereka yang memperbicangkan musik dalam satuan komunal. Jangan kaget, memang seperti itu kondisi di tahun 1990-an. Musik adalah sesuatu yang dinikmati bersama. Kalian yang hidup di era itu, tentu mendapati satu tongkrongan yang membahas musik sama. Hal yang agak bergeser di era sekarang di mana musik lebih individual dengan adanya download, headphone, iPod, dan perangkat individu lain.

Lalu di SMP, seorang kawan yang -sadly- berpulang mendahului saya, meminjamkan sebuah kaset video berisi videoklip dan rekaman konser. Tentu ada Metallica. Video darinya adalah yang menajamkan iman saya ke genre rock dengan lebih banyak lagi mengais kaset koleksi kakak-kakak saya. Sekali lagi, pasti ada Metallica.

Di SMA, ketika seperti sebagian membicarakan boyband dan tren musik saat itu - termasuk saya, lagi-lagi Metallica menemukan jalannya untuk menembus percakapan. Momentumnya bersamaan dengan rilis album Reload yang akhirnya membuka diskusi-diskusi seputar sulitnya solo gitar di Blackened atau indahnya riff Orion dari atas bangku-bangku cokelat sekolah.

Kuliah adalah puncaknya, yang bahkan dimulai dari hari-H seperti yang saya tulis di paragraf pembuka. Ice-breaking dengan Metallica ini yang juga mengantar saya berbaur dengan teman kos. In fact, di kos jaman saya kuliah ini saya terdampar di sarang metalhead yang tak pernah berhenti membahas, mengulik, dan perbicangkan James Hetfield cs. Dari kos ini, beberapa band yang membawakan lagu-lagu Metallica. 

Momen paling menarik mungkin bagaimana saya menyaksikan transformasi seorang sahabat. Dari yang awalnya classic-head, hanya mendengarkan orkestra dan lagu-lagu Disney sampai menjadi devout metalhead dan kemudian berputar lagi menjadi super-relijius dalam periode yang masih bisa saya saksikan. Faktor terbesar cycle itu hanya satu: Metallica.

Masa kerja, tetap Metallica menyentuh ketika berbagi playlist untuk diputar di cubicle kantor. Dari masa saya di Surabaya, hingga sekarang yang berdampingan dengan persona multigenre. Metallica masih menjadi bahasa ice-breaking yang mudah.

Saya mengambil kesimpulan. Bahwa Metallica (dan sepertinya GNR) menyentuh semua individu yang pernah mengalami gaya hidup paruh awal 1990-an. Apapun daerah, apapun genre musik favorit, dan berapapun usianya. Momentum ini sempat terputar kembali di kitaran umat (5/7) lalu ketika Metallica mengumumkan akan kembali ke Jakarta setelah 20 tahun berselang. Di Twitter, perbincangan ramai membahas mengenai band ini, bahkan ada akun dan hashtag yang dedicated khusus untuk menampung cita-cita penonton Indonesia untuk menonton Metallica.

Sejenak musik kembali menjadi barang komunal. Yang menyatukan saya, selebritis Twitter atau dunia nyata, atasan di kantor, teman SMA, dan sebagainya. Tak disangka ice-breakingnya masih menggunakan mantra yang sama: Metallica.

Mengutip status Path kolega saya, mungkin konser di GBK pada 25 Agustus mendatang akan menjadi ajang reuni bagi sebagian orang. Mempertemukan kembali dengan persimpangan-persimpangan hidup yang dulu sempat dirajut menggunakan benang musik Metallica. Saya sih berharap demikian.

Related

music 8400250471783123792

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item