Religio-Sentris di Makkah

Sebagai muslimpolitan, Makkah tak bisa dilepas dari agama sebagai penyuntik sendi kehidupan kotanya. Sejak dulu, Makkah adalah sebua...


Sebagai muslimpolitan, Makkah tak bisa dilepas dari agama sebagai penyuntik sendi kehidupan kotanya.

Sejak dulu, Makkah adalah sebuah entitas - meminjam istilah Reza Aslan - religio-economics. Kaum Quraisy setelah era Qusay (buyut Muhammad) menguasai Kabah dan menyusun sendi ekonomi dari ritual di sekitarnya. Dalam konteks yang membesar, ini masih terjadi di Makkah dan Arab Saudi secara makro.

Otoritas kota Makkah hidup dari "penyediaan fasilitas" bagi jamaah. Dulu jamaah pagan, sekarang jamaah haji. Ketika Muhammad membersihkan Makkah dari pagan dan menjadikannya pusat ibadah Islam, kaum Quraisy melalui klan Ummayah masih tetap memegang peranan.

Di era modern, peranan diambil otoritas. Makkah adalah kota yang berdenyut dari layanan terhadap jamaah. Infrastruktur yang dibangun mengikuti jejalur menuju Kabah (dan Masjidil Haram), dan objek manasik haji seperti Masyair Haram (Mina dan Muzdalifa) dan Arafah.

Bila melihat kehidupan kota, berbeda dengan Dubai misalnya, ada sedikit kesenjangan antara fasilitas non ibadah dan penunjang ibadah. Makkah mampu membangun jaringan monorel untuk mengangkut jamaah dari Makkah ke Mina dan Arafah. Ini hanya digunakan efektif setahun sekali pada bulan haji. Tetapi Makkah tidak membangun monorel sebagai layanan penduduk kota.

Kosmopolitan dan gedung bertingkat juga menempel di sekitar Masjidil Haram. Di luar area itu tampak kehidupan ala Timur Tengah yang sama dengan Syria, Irak, dan negara arab lainnya.

Sistem transportasi Makkah, bis kota dan taksi juga mengenal satu rute tujuan: ke Masjidil Haram.
Keberatankah penduduk Makkah? Rasanya tidak. Sekali lagi, sendi muslimpolitan juga nampak dari segala aspek kehidupan. Ibadah adalah salah satu tema utama yang senantiasa jadi perbincangan, mungkin menutupi masalah perut laiknya Jakarta.

Diskusi mengenai fikih dan tarikh adalah perbincangan yang menarik minat warga. Talkshow, di televisi dan radio, banyak membahas mengenai bagaimana mabit dilakukan, atau rukun haji, yang mungkin sudah ribuan kali mereka dengar. Namun tetap relevan.

Penduduk Makkah juga sangat peduli ibadah. Mungkin melebar hingga Jeddah. Pengalaman pertama saya adalah ketika ditegur seorang arab di bandara Jeddah, diminta membenarkan pemakaian ihram terbalik (seperti kasus Jokowi) dari salah seorang jamaah dari rombongan kami.

Tak beberapa lama, satu arab lagi memprotes ke panitia haji perihal rombongan kami yang jamaah zuhur dengan imam setempat, lalu setelahnya melakukan salat jamak asar. Ini tidak boleh, kata si arab.

Di Mina, ketika masjid sudah mengumandangkan iqamah, saya masih hendak wudlu. Ditegur oleh penjaga maktab. "Ya Akhmad, sholli! Sholli!" Disuruh salat saat itu juga.

Beberapa kali saya menyaksikan juga penduduk lokal menegur rombongan umrah yang para wanitanya masih bercadar.

Hobi membahas agama ini juga berlanjut di majelis-majelis yang diadakan usai salat di tiap masjid. Khusus musim haji, pihak masjid bahkan menyediakan penerjemah untuk diskusi lintas bahasa.

Dari dimensi makro hingga mikro, Makkah bergerak dalam entitas religio-sentris. Saya melihat dimensi yang menarik dari sikap religio-sentris ini. Sesuatu yang memudar di Indonesia.

Sesuatu yang rupanya saya rindukan lantaran ketika kecil dulu masih sering ditegur kala sarung menempel tanah, atau memegang Quran di bawah lutut.

Sekarang menegur ibadah orang sudah dianggap anti-demokrasi di Indonesia.

Related

urban living 4234499668436739857

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item