Karius dan Residu Depresan


Salah satu yang melekat di ingatan adalah pernah diteriaki oleh kapten tim waktu bermain bola semasa SMA. Pelajaran dasar sebagai bek, jangan membuang bola ke arah dalam (atau tengah). Itu prinsip.

Blunder Loris Karius di final Liga Champions 2018 juga melanggar prinsip, sehingga agak yakin ini mengenai mental, bukan skill.

Pertama, jangan mendistribusikan bola dari titik penyelamatan. Sering kali kita lihat kiper lain menunda beberapa saat, melakukan dummy lemparan, dan mengubahnya ke arah lain.

Kedua, jangan coba menangkap tembakan. Kiper bereaksi instan nyaris sebelum kaki penendang mengenai bola. Jadi, ketika bereaksi ia tidak tahu seberapa kencang hasil tendangan lawan. Ini penyebab banyak kasus "mati langkah" ketika tendangan memantul pemain lain.

Ketiga, jangan memantulkan bola ke tanah. Selalu ke luar atau ke atas. Ini sama dengan prinsip kenapa saya diteriaki tadi.

Apakah Karius bisa "move on"? Tergantung. Bila Liverpool mampu juara segera (dalam kasus Liverpool bisa juara liga, lebih baik lagi juara Liga Champions). Keinginan ini jadi drive tinggi pemain Milan ketika kalah di Istanbul, dan di musim berikutnya berhasil maju sampai semifinal, lalu juara di musim berikut. Ini membuat para pemain bisa move on.

Attitude pendukung juga menentukan. Kiper Brasil pada Piala Dunia 1950 menderita karena dikucilkan satu negara akibat jadi kambing hitam Maracanazo. Waktu itu Brasil kalah di final dari Uruguay. Federasi Brasil mengucilkan, pendukung juga sama. Ini yang membuat situasi tak pernah jadi baik baginya.

Hal yang sama terjadi pada Roberto Baggio. Usai gagal memasukkan bola di adu penalti Piala Dunia 1994, ia tak pernah jadi pemain yang sama. Arrigo Sacchi tidak memanggilnya lagi, ia dibuang Juventus, dan gagal di Milan. Baggio menemukan "zen"-nya kembali ketika melakukan penebusan dengan bermain bagus di Piala Dunia 1998 setelah menjalani purgatori bersama Bologna.

Kadang menjalani purgatori itu sesuatu yang bagus. Mungkin Liverpool (atau Karius sendiri) perlu "menyepi" dari tekanan dengan bermain di klub yang membuatnya nyaman. Ia bisa mencontoh Nelson Dida, kiper Milan, yang membuat blunder fatal kala melawan Leeds United di Liga Champions.

Musim berikut Dida kembali ke Brasil (dalam status pinjaman). Setahun kemudian ia kembali, stronger, dan memenangkan dua gelar Liga Champions bersama Milan.

Yang penting bagi semua orang saat ini, lagi-lagi kembali ke prinsip. Pebola itu yang pertama dan utama adalah manusia. Kedua, ia mempunyai keluarga. Ketiga, barulah ia atlit yang dituntut performanya.

Kegagalan semacam itu berat bagi atlit, dan kita perlu memegang prinsip pertama dan kedua. Di Bartolomei jadi bintang AS Roma. Ia membawa Roma ke final Piala Champions tahun 1984 lawan Liverpool. Pertandingan ditentukan dengan adu pinalti. Roma kalah, Di Bartolomei adalah salah satu pemain yang gagal. Ia dijual Roma musim berikut.

Sepuluh tahun kemudian, Di Bartolomei bunuh diri pada tanggal yang sama dengan pertandingan final tersebut, memegang foto skuad Roma saat itu.

Kita tidak pernah tahu bagaimana depresi itu hinggap dan mengendap.

Related

STICKY 8272345301140938154

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item