Seminggu di Thailand: Buah Tangan di Hari Ketujuh


Chiang Mai dinobatkan sebagai salah satu kota kreatif menurut UNESCO. Sebagai kapital dari region utara yang memiliki budaya lokal unik, Chiang Mai diharapkan bisa menjadi sentra pengembangan UKM yang bermuatan lokal untuk menuju pangsa regional dan internasional.

  • Buah Tangan

Daerah utara Thailand adalah tempat tinggal suku-suku tradisional yang ikonik seperti leher jenjang (menggunakan ring leher) atau kuping panjang. Mereka tinggal di pegunungan yang berbatasan dengan kawasan segitiga emas. Lokasinya di ketinggian tertentu juga membuat wilayah tersebut menjadi penyuplai hasil bumi untuk Thailand. Yang terkenal adalah buah manggis dan kopi.

Chiang Mai juga identik dengan kota gajah. Taman-taman nasional di sekitar Chiang Mai adalah habitat gajah yang menjadi simbol negara Thailand. Istilah "gajah putih" muncul dari folklore asal muasal Chiang Mai yang melibatkan rusa dan gajah albino.

Dengan segala modal historis dan kultural, seni dan kreativitas tentu saja berkembang di Chiang Mai. Sekolah, galeri, dan pusat kesenian menjamur di kota tersebut. Iklim kreativitas yang merembet ke aspek kiwari juga terasa menghidupi kota ini. Terlebih di beberapa distrik seperti Nimman yang dekat dengan Chiang Mai University Art Center. Kadang kita bisa merasakan vibe kreasi sebuah kota seperti ketika kita ada di Yogyakarta atau Bandung.

Menjelajah Nimman

Nimman ini merupakan distrik hip dan trendi. Sekarang ini banyak kafe, kedai retail, toko buku, workshop, serta kios kreatif yang mengisi jalan sepanjang 1,2 kilometer termasuk ke dalam soi (gang atau jalan kecil) di sekitarnya. Di jalan ini, Starbucks, misalnya, ada di soi 9, bukan jalan utama. Kedai kopi terkemuka yang ada di jalan utama dirajai oleh Ristr8to (dibaca ristretto), pemenang kompetisi barista beberapa kali dalam level kejuaraan dunia.

Kedai kopi di Chiang Mai ini mirip di Seoul. Tiap 400 meter sekali kita akan menemukan kedai kopi yang decent, dengan barista, peralatan sophisticated, dan tempat yang instagrammable. Wabah third wave sudah masuk, karena heterogenitas kedai. Sebagai kota terdekat dari perkebunan-perkebunan kopi, memang sudah seharusnya Chiang Mai menjadi tuan rumah bagi skena kopi sebagaimana diwakili di Nimman.

Menyusuri Nimman menjadi agenda itinerari kedua kami yang dimulai dari sore hari. Berempat, kami mengawali perjalanan dari Maya, mal modern yang ada di ujung jalan. Hotel kami ada di ujung sebaliknya yang terpisahkan jalan Nimman. Untuk menuju Maya, kami menggunakan Grab karena sore itu angin sangat kencang yang mengindikasikan sebentar lagi hujan. Ini akan merepotkan tentunya, apabila hujan, mengingat itinerari kami adalah jalan kaki menyusuri Nimman.

Obyek yang dituju di Maya adalah megastore milik Chiang Mai FC (CMFC), klub sepakbola profesional Thailand yang berlaga di liga premier. Pada saat makan siang, sebelumnya, saya sempat bertanya mengenai CMFC pada warga setempat. Rata-rata mereka menyatakan kekecewaannya karena di musim kedua mereka berlaga di liga teratas, sepertinya akan berakhir dengan degradasi.

Entah ada hubungannya atau tidak dengan prestasi, sesampainya kami di Maya, megastore CMFC sudah ditutup. Padahal di website resmi klub dan juga website Maya masih tertera ada CMFC Megastore di lantai lima pusat perbelanjaan paling baru di Chiang Mai tersebut.

Hujan sudah reda pada petang kami ke luar Maya. Destinasi berikutnya masih merupakan mal, tetapi yang ini adalah mal posmodern bernama One Nimman. Konsep mal ini seperti halnya pusat perbelanjaan tetapi menawarkan experience yang menarik karena konsepnya seperti menyebar kios-kios di kota tua Eropa. Lengkap dengan piazza dan torre-nya, yang dari kejauhan nampak seperti bangunan gereja.

Di One Nimman terdapat banyak butik dan workshop kreatif, disamping aneka kafe dan kedai. Graph, kedai kopi unik yang ada di kota tua Chiang Mai juga membuka gerainya di One Nimman.

Rencana kami, usai makan malam di One Nimman, agenda selanjutnya akan diisi dengan strolling ke Nimman. Mampir ke Ristr8to, toko buku bernama Ran Lao, serta Nimman Promenade yang menjadi sentra UKM seni dan budaya Lanna serta Chiang Mai. Pada rencana ini kami mengagendakan wisata belanja, termasuk buah tangan dan suvenir memento perjalanan.

Namun rencana itu terpaksa dibatalkan ketika Aksara "mogok jalan" akibat ingin membeli Sprite tapi adanya 7 Up. Ia tantrum, berteriak-teriak, serta memukul. Kami terpaksa menenangkannya sampai keluar One Nimman.

Mood kami, tentunya anak-anak juga demikian, lantas bubar dan segera berjalan menyusur arkad dan sisi jalan Nimman menuju hotel. Meski mulanya dongkol, tetapi lantas di sisa jalan saya dan istri tertawa-tawa mengingat apa yang kami bawa sepanjang pelesir ke Thailand ini sejatinya memang pengalaman bersama Aksara. Meski mengorbankan kesempatan untuk belanja dan membawa buah tangan, keputusan untuk kembali ke hotel adalah yang terbaik bagi semuanya.

Jam 8 malam kami sudah ada di hotel dan melakukan packing akhir. Hari ini adalah hari terakhir pelesir. Hari ketujuh, esoknya, atau tepat seminggu di Thailand adalah hari di mana kami meninggalkan negara tersebut untuk kembali pada rutinitas di Indonesia. Tidak banyak yang bisa diceritakan pada hari ketujuh selain upaya terakhir untuk mencari oleh-oleh di bandara Chiang Mai (CNX) kembali kandas karena toko belum buka.

Buah Tangan Pengalaman


Kami sudah ada di bandara jam 6 pagi, bersiap untuk penerbangan jam 8.30 menuju Bangkok (DMK) terlebih dahulu. Layover di Bangkok-pun sangat mepet, dengan waktu kurang dari sejam untuk beringsut dari kedatangan ke keberangkatan internasional. Belum waktu transit dan check in ulang yang dihabiskan. Sama sekali tidak ada waktu untuk membeli suvenir buat diri sendiri, boro-boro orang lain.

Akhirnya, kami membawa bawaan yang nyaris serupa ketika berangkat. Ransel berisi pakaian dan perlengkapan. Tak ada suvenir yang dibeli atau dibawa sebagai memento selain foto-foto, pengalaman, dan tentunya rangkaian tulisan ini.

Pengalaman menjadi memento paling berharga, karena kami memetik banyak sekali pelajaran mengenai pelesir keluarga dengan gaya ransel ini. Repot, pastinya, tanpa ada anggota pelesir yang berkebutuhan khusus sekalipun, genre ini selalu menguras energi. Menyenangkan, juga niscaya, dengan kehadiran dua orang pelengkap yang benar-benar memberi warna dalam trip ini.

Betapa mudah anak-anak disenangkan, dari sekadar tidur di bunk bed hingga melihat biksu-biksu yang tengah berdoa, jadi hikmah yang kami ambil bahwa tak selamanya buah tangan dari pelesir ini glitter and gold.

Di pelesir ini, yang kami tangkap pada akhirnya adalah memori meruang di kota bersama-sama. Bagaimana Aksara hafal bahwa di 7/11 ada Sprite, atau ia bisa "menemukan" kulkas berisi minuman dari kejauhan.

Di pelesir ini saya dan istri baru menyadari belum "sempat bertengkar" sebagaimana rukun traveling, karena masing-masing sibuk bergantian keki dengan anak-anak. Di pelesir ini, kami beradaptasi dengan makanan siap saji dan persuasi ke anak-anak untuk hanya memakan telurnya ketika mendapati omelet yang dipesan mengandung sosis babi.

Pelesir kali ini meninggalkan kesan sehingga setibanya di Jakarta saya bertanya ke Magenta apakah ia akan mengajak lagi Aksara, setelah ragam kerepotan yang disebabkannya.

"Tentu saja!"

Kerepotan membawa anak-anak untuk pelesir sangat sebanding dengan melihat keterbukaan wawasan mereka, dan melihat bagaimana segala sesuatunya diserap. Tentu saja ini membuat saya dan istri bertekad lebih keras untuk bisa mengulang pengalaman macam ini di pelesir berikutnya.

Related

travelogue 7167232189746699771

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item