Obituari Vialli dan Kenangan Mengaji


Pekan lalu, Gianluca Vialli dikabarkan wafat. Setelah berjuang melawan kanker pankreas, eks striker Cremonese, Sampdoria, Juventus, dan Chelsea tersebut akhirnya berpulang meninggalkan banyak memori.

Dalam ingatan saya, pertandingan sepakbola pertama yang secara berkesadaran saya tonton pertama adalah final Liga Champions Eropa musim 1995/1996. Ajax melawan Juventus di partai puncak.

Sebelumnya, sepakbola adalah sepotong-sepotong sukacita. Dari buku tulis bersampul semifinalis Piala Dunia 1990, poster Paolo Maldini dengan baju bersponsor Mediolanum, sampai ke pembicaraan seputar Danielle Massaro di keluarga besar kami di 1994.

Tetapi 1996-lah yang membuat saya jatuh cinta dengan sepakbola. Tidak lama setelah Gianluca Vialli mengangkat trofi Liga Champions untuk Juventus, Piala Eropa 1996 adalah pertama kali saya “mengaji” sepakbola. Melahap berbagai ulasan. Menonton semua pertandingan, hingga membawa TV cadangan untuk menonton gim Italia melawan Jerman di RCTI yang bersamaan dengan Rep Ceko melawan Rusia di SCTV.

Tabloid Bola menjadi santapan rutin tiap Jumat setelahnya. Hingga musim 1996/1997 tiba, mengiringi saya mencermati mulai semaraknya liga di tanah Anglia. Chelsea memboyong Ruud Gullit sebagai manajer, dan ia membawa nuansa Liga Italia di klub yang pada masa itu mungkin hanya sebesar Aston Villa para masa sekarang.

Roberto Di Matteo, Gianfranco Zola, dan tentu saja Gianluca Vialli. Baju biru gradasi kuning dengan sponsor Coors mulai terlihat dikenakan, di tengah dominasi seragam klub-klub Italia yang diproduksi jenama bernama Austy di Indonesia medio 1990-an.

Saya diam-diam punya titik lembut pada klub London tersebut dengan “tradisi” mereka yang condong ke Italia untuk menaikkan kasta. Ruud Gullit digantikan Vialli kemudian, yang mengawali tabungan trofi Chelsea. Metamorfosa klub semenjana menjadi langganan kasta utama.

Era Vialli berganti dengan manajer Italia lainnya (Claudio Ranieri), yang barangkali dikenal penggemar sebagai “sebelum Mourinho”. Dengan mulainya babak Jose Mourinho di Chelsea, berakhirlah titik lembut saya untuk geng Cobham tersebut. Sekaligus akhir saya mengaji Liga Premier.

Vialli ketika diboyong Gullit ke Chelsea


Sekian lama pula saya tidak mengikuti Gianluca Vialli. Entah di mana dan apa kabarnya, hingga suatu ketika di Kinokuniya Singapura saya membeli buku karya Vialli bersama Gabrielle Marcotti berjudul “The Italian Job”. Buku yang seketika saya baca dan tidak berhenti, sehingga 300-an halaman sudah selesai tidak lebih dari dua jam.

Buku tersebut bukan mengenai biografi pebola kelahiran Cremonese tersebut. Bukunya lebih banyak berkisah mengenai perbandingan mazhab sepakbola Inggris dan Italia. Dua kutub yang ia kenal betul.

Dalam buku tersebut, Vialli mengambil dirinya sebagai sampel tipikal pebola Italia. Anak orang kaya, yang sebetulnya tidak butuh-butuh amat dengan uang dari sepakbola. Bermain untuk mimpi mereka, dan mengutamakan kesenangan serta fantasi. Ia mengambil sampel lain seperti Andrea Pirlo dan Claudio Marchisio.

Sementara, pengalamannya di Inggris mengajarkan di Britania Raya, tidak ada anak orang kaya yang bermain sepakbola. Mereka semua akan kuliah dan mengejar karier dan pangkat. Sepakbola adalah anak-anak kelas pekerja. Yang utama adalah kerja keras, berlari terus, dan semangat. Hal yang dilihatnya dari Dennis Wise dan secara berulang disebut: Wayne Rooney.

Buku tersebut banyak bercerita mengenai perbedaan dua negara yang kemudian bertemu di final Piala Eropa 2020 selang hampir satu dekade kemudian. Di situlah saya kembali melihat Gianluca Vialli. Kali ini kurus, tirus, dan seperti iba melihatnya. Ia berjuang melawan kanker pankreas yang merenggut vitalitasnya.

Final Inggris dan Italia di Wembley, bagi Vialli, adalah impian. Istrinya orang Inggris. Vialli tinggal di London sejak eksodus ke Chelsea dan tak pernah kembali ke Italia. Anak-anaknya lahir di Inggris. Jadi final tersebut adalah derby mentalnya. Tetapi sebagian hatinya juga tertambat pada karibnya yang menjadi pelatih Italia, goal-twin-nya di Sampdoria, Roberto Mancini.

Mancini dan Vialli di final Piala Eropa 2020


Ketika adu pinalti membuang nasib Inggris, pemandangan goal-twin yang berpelukan di stadion Wembley menjadi memori Sampdoria terakhir yang memenangi scudetto dan nyaris Liga Champions. Waktu itu duet Bobby-Luca menjadi templat Del-Pippo, atau yang kemudian Luca jalani bersama Ravanelli ketika memulai petualangan baru di Juventus.

Luca berpisah dengan Bobby, dan baru reuni kemudian hari ketika menjadi bagian tim nasional Italia. Roberto Mancini memboyong eks karibnya di Sampdoria, Luca dan Atillio Lombardo, untuk membantunya di timnas Italia.

Desember lalu, di tengah berita Piala Dunia yang tak dicicip Italia, Mancini memberi kabar duka lain. Bahwa Vialli mundur dari manajerial tim nasional Italia karena kanker pamkreasnya kembali. Ia sempat dinyatakan sembuh tiga tahun sebelumnya.

Akhir Desember, sejawat Vialli dan Mancini di Sampdoria awal 1990-an, Sinisa Mihajlovic juga diberitakan berpulang setelag berjuang melawan kanker, sama dengan Vialli. Berita tersebut tampak menjadi “let go moments” bagi Vialli bahwa dunia berikut tampaknya lebih menyenangkan untuk dijajakinya bermain bola bersama Sinisa.

Gianluca Vialli menyerah dan wafat pada 6 Januari 2023. Ia meninggalkan warisan di dua negara yang ia cintai. Di Italia, Doria belum pernah scudetto sejak Luca. Kapten terakhir Juventus yang mengangkat Liga Champions? Gianluca Vialli.

You love us, and we love you,” kata akun klub Sampdoria menggambarkan petualangan abadi Vialli di Blucherchiati.

Di Inggris, Vialli adalah pionir. Ia menjadi pemain asing kaliber awal yang ikut membangkitkan Liga Premier menjadi liga sepakbola nomor satu. Kapten klub pemenang Liga Champions yang pindah ke liga asing dan klub non kontender.

Luca Vialli memenangkan trofi pertama Chelsea  setelah 1971. Sebagai manajer, ia lebih banyak lagi menyumbang trofi di kabinet, termasuk dua trofi kontinental yang turut mengangkat koefisien Liga Inggris di Eropa.

Kariernya sebagai pemain berhenti di 4 klub. Cremonese, Sampdoria, Juventus, dan Chelsea. Jabatan pelatih dicicipnya di 2 klub, Chelsea dan Watford. Setelahnya ia banyak bekerja di media, terutama untuk posisi jembatan antara Inggris dan Italia.

Bagi saya, perginya Vialli - dan sebelumnya Mihajlovic - menjadi babak baru dalam “karier” sebagai penggemar sepakbola. Apakah ini masa ketika kita melihat satu demi satu idola berpulang?

Saya mengikuti pemain seperti Sinisa dan Luca menjadi pemenang, pensiun, mempunyai karier kedua, dan kemudian wafat. Menyaksikan nama punggung sama dengan nama depan berbeda dari ayah dan anak di lapangan hijau.

Barangkali saya sudah terlalu lama mengaji sepakbola.


Related

vialli 7159489472101235756

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item