Kalah Karena Laser
Akan sangat norak bila saya menyalahkan laser sebagai biang kekalahan timnas Indonesia atas rival Malaysia. Namun kenyataannya, laser-lah ...
https://www.helmantaofani.com/2010/12/kalah-karena-laser.html
Akan sangat norak bila saya menyalahkan laser sebagai biang kekalahan timnas Indonesia atas rival Malaysia. Namun kenyataannya, laser-lah yang membuat Indonesia mengalami kekalahan berat 0-3 dalam laga Final Piala AFF 2010, leg pertama di Stadion Bukit Jalil, Minggu (26/12).
Bukan secara langsung memang, namun mempunyai runutan kronologis yang cukup penting. Teror laser membuat Indonesia kalah dalam momentum. Ketika game dihentikan wasit pada menit ke-55, Indonesia sebetulnya dalam posisi bagus menekan Malaysia di babak 2.
Christian Gonzales mencetak gol yang dianulir karena keputusan offside yang debatable. Lalu peluang Yongki Aribowo menyusul melalui tendangan yang mengarah ke kiper Malaysia. Lantas, melalui sebuah upaya untuk keluar dari tekanan tim tamu, Malaysia mendapatkan tendangan bebas di sisi kiri pertahanan Indonesia yang malam itu sedikit rapuh akibat Okto Maniani mendapatkan kartu kuning terlalu awal.
Dari situlah teror laser membuang momentum Indonesia. Protes yang dipimpin Markus membuat pertandingan terhenti. Ini adalah waktu buruk untuk jeda, karena Rajagopal yang terkenal jago memotivasi itu bisa mempunyai waktu mengumpulkan pemainnya dalam lingkaran briefing.
Sejak saat itu peruntungan berubah. Tebakan saya, motivasi Rajagopal hanyalah penegas dari apa yang sudah disampaikannya. Bahwa rekor pertemuan di fase grup akan menguntungkan Malaysia.
Logikanya, Indonesia lena karena merasa pernah unggul besar. Sementara Malaysia termotivasi membalas. Ini juga menjadi kekhawatiran saya ketika takdir mempertemukan kita dengan rival serumpun ini.
Momentum Malaysia tak datang telalu lama selepas pertandingan di-suspend sekitar 5 menit. Sebuah kesalahan fatal Maman Abdurrachman di garis byline membuat Malaysia membuka keunggulan dengan tap in dari Mohammad Saffee. 1-0 yang menaikkan mental mereka.
Momentum kedua hanya berselang sekitar 5 menit, ketika sebuah bola pantul jatuh ke kaki pemain Malaysia untuk diteruskan dengan penempatan bola ke pojok kiri atas gawang Markus. 2-0.
Gol ketiga adalah pembuktian bahwa Malaysia lebih lapar ketimbang pemain Indonesia yang lengah karena menang besar di pertemuan pertama. Meski motivasi membesar dengan masuknya Irfan dan Arif, namun Malaysia masih menikmati momentum dengan sebuah gol cantik yang dicetak Saffee, lagi-lagi 5 menit dari gol sebelumnya.
Dalam 15 menit, Malaysia membobol 3 kali gawang Indonesia, dan satu peluang yang gagal dimanfaatkan. Bukan satu kebetulan bila momentum perempat jam itu hadir tepat usai pertandingan berhenti akibat teror laser.
Di sinilah kekalahan mental kita. Bahwa kita tak mampu membuat teror menjadi dorongan mental untuk mengatasi. Determinasi lemah, dan kelengahan atas hasil pertandingan pertama membawa bencana ke timnas, tepat di hari peringatan tsunami yang tewaskan seperempat juta rakyat Indonesia.
Sebaliknya Malaysia, mereka menikmati angin motivasi yang terdorong "teror" kekalahan di persuaan pertama fase grup. Dukungan suporter yang luar biasa dari sekitar 65 ribu kaus kuning juga bisa mereka manfaatkan sebagai second wind.
Maka, leg kedua adalah kerja keras, itu pasti. Indonesia bisa berharap bahwa Malaysia sedikit lengah dengan keunggulan 3 gol, meski saya sangsi mengingat reputasi Rajagopal "menggarap" mental timnya usai kalah 1-5 di laga pembuka.
Secara teori, Indonesia bisa sedikit mengemulasi effort Liverpool kala membuat momentum 15 menit mereka di final Liga Champions 2005 melawan AC Milan. Kalah 0-3 di paruh pertandingan, mereka menyamakan skor tepat ketika waktu pertandingan menginjak sejam (15 menit dari jeda). Skor 3-3 dan mereka beroleh dorongan mental untuk meelakoni adu pinalti.
Itu bisa diterjemahkan dalam waktu yang lebih panjang bagi Indonesia. Masih ada waktu 90 menit untuk membuat momentum mereka.
"Hal paling realistis ketika sebuah tim tertinggal 3 gol adalah memaksakan hasil imbang," ucap Vladimir Smicer, pencetak gol kedua Liverpool dalam final ajaib 2005 tersebut.
Emulasi yang tepat adalah Indonesia tak boleh bernafsu mengejar 4 gol untuk memenangi pertandingan. Itu adalah upaya naif. Menang 3 gol dalam tekanan leg kedua adalah hal yang sulit namun tidak mustahil. Mencuri gol di awal pertandingan, menguasai penguasaan dan mencetak gol kedua sebelum rehat.
Di sepanjang 45 menit berikut, carilah gol ketiga dengan aman (karena satu gol "curian" dari tamu akan berbuah petaka). Gol keempat hanyalah bonus.
Ini adalah momen yang tepat bagi ujian mental Indonesia. Tak bisa kita berharap Malaysia lengah. Yang paling tepat adalah mereka harus mengubah "teror" tertinggal 0-3 menjadi propelan yang akan menciptakan momentum mereka sendiri. Bukan malah melembek seperti kala laser menerpa.
Posting Komentar