Rasa Gagal Selamatkan Film


Saya teringat diskusi dengan penulis-slash-sutradara, Salman Aristo, suatu sore di daerah Benda. Kata Aris, jalan mudah meresensi sebuah film adalah mencoba menebak apa isi penulis skenarionya. Kiat ini saya coba untuk memaparkan film Remember the Flavor yang naik layar 15 Februari kemarin.

Ditilik dari momentum (bukan, bukan momentum Pilkada), bisa ditebak film ini bergenre drama romansa. Premis yang didapat dari materi publikasi, ada tiga karakter utama. Satu laki-laki (Tarra Budiman) yang memegang sekop es krim diapit oleh dua perempuan cantik (Annisa Pagih dan Sahira Anjani). Dugaan saya, ini kisah cinta segitiga yang berporos pada si mas-mas beruntung. Jomblo ngenes silahkan protes.

Ternyata, fact check, rotasi film banyak melibatkan salah satu perempuan. Melody (Sahira) namanya. Ia mempunyai obsesi menjadi penyanyi, dan beberapa kali ke ibukota untuk mencoba peruntungan. Kisah film ini bercerita seputar Melody, dalam adegan bercerita di kereta yang akan membawanya kembali ke Yogyakarta, setelah tiga tahun di ibukota.

Update googling, film ini sedianya akan dirilis sekitar Agustus tahun lalu. Namun urung dan mundur. Di rilis lamanya, judul film ini lebih jelas titik sentralnya. Melodi: Remember the Flavor. Omong-omong, Melodi atau Melody?

Sebagian cerita merupakan flashback yang menjelaskan motivasi Melodi, sekaligus jalan cerita. Ini mengantar kita ke tokoh Dimas (Tarra. Budiman, bukan Basro), anak penjual es krim di Yogyakarta. Mengapa Yogyakarta? Entahlah. Tidak terlalu penting juga kotanya di mana, kecuali sebagai footage-footage filler yang menggambarkan bahwa tukang rekam film ini mempunyai drone.

Oh ya, sebelum melangkah jauh, film ini mungkin mengandung spoiler. So, it's in your discretion to proceed.

Melodi yang dikisahkan sudah bersahabat dengan Dimas sejak SMP, memilih jalan "kontroversial" dengan menyanyi di klab. Kontroversial karena nyanyi boleh, tapi di klab (tak tahu klab tertentu atau sembarang klab) dianggap tak elok baik oleh masyarakat (menurut Dimas) maupun ibu Melodi. Padahal menjadi penyanyi adalah obsesi Melodi. Dan ia tampak kekurangan teman untuk membentuk band, atau setidaknya jejaring tempatnya beroleh gig. Njuk aku kudu piye?

Djenar Maesa Ayu bermain sebagai ibu Melodi dengan akting superflat, sampai saya agak yakin ia berbuat demikian untuk menyabotase film ini. Mungkin ia cocok jadi komika deadpan. Oh ya, ibunya ini dulu main di klab yang sama, dan dipecat oleh bosnya, mas Ivan, gara-gara Melodi. Titik ini digunakan untuk membangun cerita oleh penulis skenario.

Konflik Melodi membuatnya tunawisma, sehingga memilih menumpang di kios es krim Dimas. Chemistry coba dikembangkan dalam fragmen ini, mestinya, antara Dimas dan Melodi. Tapi langsung pada malam pertama mereka melakukan adegan yang membuat film ini diganjar rating 17 tahun ke atas. Selain adegan tersebut, yang tidak jelas kelanjutannya, sepanjang scene di kedai es krim ini juga menunjukkan kedekatan yang makin mengikat antara Melodi dan dunia Dimas (ada ayahnya - diperankan Ferry Salim - dan mas Tono). Bagi penulis skenario, ini momen "jadian" dalam romcom. Sebentar lagi biasanya akan ke puncak konflik. Dan benar adanya.

Klimaks film dipuncaki dengan terkuaknya kontroversi pekerjaan Melodi di klab. Ternyata sumber kontroversinya adalah ini merupakan klab abal-abal. Betapa tidak, bila gampang sekali om-om masuk ruang ganti penyanyi dan berusaha memperkosa. Kasus pelecehan yang dilakukan om Juned (penggemar berat, katanya) membuat Melodi (akhirnya) mau mendengarkan ibunya, korban perlakuan sama, untuk meninggalkan profesi penyanyi kelab. Sang ibu punya ide untuk mengamankan Melodi dengan merekomendasikan anaknya untuk (kembali) merantau ke Jakarta jadi penyanyi. Bagaimana mungkin, di Yogyakarta aja ia tidak dapat gig-mate. Dan benar, tiga tahun kemudian ia balik kucing, karena gagal (yaiyalah).

Logika mengikuti cerita sudah pasti bubar jalan. Tetapi saya mencoba kiat Aris di atas, bertahan saja mengikuti jalan cerita. Scene klimaks ini rupanya alasan untuk membuat twist sebagaimana premis dari poster cerita. Jakarta dan Yogyakarta cukup jauh rupanya sehingga Melodi bisa menghilang sempurna tiga kali Lebaran. Hilang kontak ini kemudian berperan sebagai bridge ke karakter perempuan kedua (Annisa), maaf nama karakternya lupa, tadi untuk masuk ke cerita.

Apapun itu, dari anti-klimaks kita sudah bisa menebak seperti apa ceritanya. Tapi, sampai akhir cerita saya masih susah menangkap korelasi judul film dan jalan cerita. Materi publikasi film ini banyak menyebut tema es krim. Saya pikir ini anggukan juga untuk judul film. Tapi porsi mengenai es krim ini nyaris tidak ada, kecuali sedikit proses pembuatan dan adegan pembuka bapak-bapak mengantar susu. Selebihnya, mungkin ini memori rasa bir dari kelab Melodi.

Karena kelewat meleset, film ini sampai menyediakan scene untuk membantu penonton mengambil kesimpulan di akhir film. Mas Tono breaking the fourth wall untuk memastikan moral of the story dicerna penonton, dan itu sesuai dengan judulnya. Pokoknya pilih perempuan yang doyan pinacolada. Ini mungkin sebabnya kenapa film dirilis selepas Pilkada. Supaya masyarakat tidak memilih calon yang ngga cuman tahu rasa es krim itu coklat dan stroberi.

Banyak hal absurd dari film ini, seperti apa urgensi Yogyakarta mendapatkan sorotan? Beberapa scene tampak seperti content marketing pemkot Yogya untuk menjual ikon macam becak, alun-alun, Tamansari, dan sebagainya. Mungkin ini untuk mengulang jejak sukses Ada Apa Dengan Cinta 2. Tetapi latar kota itu tidak berperan apa-apa. Ganti saja Yogyakarta dengan Trenggalek misalnya. Cerita tetap bakal jalan. Malah lebih masuk akal, karena klab malam di Trenggalek pastilah absurd.

Kemudian latar es krim itu tadi. Saya mulanya membayangkan ini menjadi eksposisi dari penulis naskah mengenai proses pembuatan es krim sebagai latar yang dikulik. Sedalam Filosofi Kopi yang bisa mengangkat harkat dan martabat kegiatan ngopi. Tapi ternyata hal itupun hanya untuk mendorong (atau memaksakan) skenario. Misalnya diganti dengan gudeg Jogja, agar punya ikatan dengan setting. Atau kopi joss barangkali.

Yang cukup bisa diapresiasi, meskipun tertebak, adalah twist dan pola penceritaan yang tidak linear. Tapi itu (sayangnya) tidak dilengkapi dengan screenplay yang baik, dialog yang kaku, casting yang tidak konteks dengan setting, dan tim produksi yang terlihat berkelas FTV di layar lebar.

Saya sudah lama tidak menyaksikan film lokal. Menurut saya kelemahan rata-rata masih sama, yaitu keengganan untuk melepas film dari dunia pentas seperti teater yang lebih "nyeni". Sering sekali pesan-pesan moral diceramahkan melalui dialog yang tidak natural. Lalu akting dari para pemainnya juga "ekspresionis" seperti halnya dunia pentas. Padahal kekuatan film fitur adalah meyakinkan bahwa yang di layat itu nyata. Segalanya mesti natural. Yang ekspresionis sudahlah, ada Garin yang memang maqom-nya di situ. Pakai maqom, biar kekinian.

Pada kasus film Remember the Flavor, singkat kata sang sutradara tidak mampu mengatur semua potensi yang ia punya. Ia malas melakukan retake, mempetahankan scene yang (sebetulnya) kurang sreg, gambar yang kurang memberi ilustrasi, dan sebagainya. Banyak kekosongan mengisi durasi. Dan sekuat apapun kerja tim editing, dengan materi asli yang medioker tetap tak mampu menyelamatkan sebuah film.

Final verdict, film ini adalah FTV yang naik derajat karena naskah yang sebetulnya lumayan pintar tapi dikacaukan oleh produksi dan penyutradaraan yang buruk.

Related

STICKY 8824031288583178349

Posting Komentar Default Comments

3 komentar

Daeng Ipul mengatakan...

tumbel elu nonton film Indonesia
x)))

Helman Taofani mengatakan...

Gua juga heran dengan diri gua sendiri. Naksir sama Sahira kayaknya.

Sinopsis Film mengatakan...

ijin nyimak dulu gan wkwkwk

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item