Intoleransi dan Indikasinya


Kalau ngomongin (in)toleransi, ngga bisa lepas dari kacamata mayoritas-minoritas. Ini yang jadi fallacy pertama, sudut pandang mana yang menempatkan muslim itu mayoritas atau minoritas?

Dengan segala tetek bengek globalisasi, muslim secara de facto adalah minoritas di dunia (overall tidak mencapai 30% populasi, tanpa disparitas).

Apakah iya toleransi hanya diukur dari indikasi ucapan hari raya?

Bagaimana dengan hidup sehari-hari?

Tentang mbak-mbak jilbaban yang membuatkan thai tea kepada pembelinya di tengah hari saat Ramadan?

Fakta di sini, Alfamart buka jam 10 saat Idul Fitri, waktu secukupnya usai pekerjanya habis menunaikan salat id.

Juga nyanyian serta hiasan Natal yang secara konsensus sudah diterima sebagai tradisi juga, “commercially”. Mana ada mal yang ngga dekor tempat dengan ornamen kala Natal?

Bukankah kaya gitu jadi indikator yang lebih sahih?

Wacana bahwa orang Indonesia itu intoleran bener-bener mbelgedes. Saya pribadi paling ngga terima kalau dibilang (seperti) itu. Biasanya berdasarkan indeks semu seperti ucapan hari raya itu tadi.

Sama mbelgedes-nya dengan orang baperan gara-gara ngga diucapin selamat ultah.

We’re grown up people.

Standar Absurd


Sering saya lihat juga mas-mas jenggotan, celana cingkrang, doing business with non-muslim. Biasa dan jamak. Tapi pandangan kaya gitu (kaum jidat item) terus distigmakan jelek. Ngga jadi munafik juga mereka ngurusin dunya dengan yang tidak seagama.

Kalau orang mulai kembali ke agama, mungkin itu karena ia jadi satu-satunya benteng moral menghadapi globalisasi. Dunia di mana muslim jadi minoritas. Konsensus yang membolehkan miras (ngebir itu keren). Obligasi untuk tidak perawan sebelum SMA. Sekolah internesyenel dengan kapasitas casciscus inglis yang immaculate.

Ngomong “which is” supaya keren, sementara yang coba pakai “antum” dibilang Wahabi.

Ngejilbabin anak perempuan, ngajarin bahasa Arab, atau ngirim ke sanlat aja mulai dipicing sebagai tindakan menanam bibit radikalisme. Lak telo!

Di sini kan banyak yang pernah hidup di luar negeri. Mbok ya coba bandingin bagaimana warga di sana embrace minoritas dengan keyakinan berbeda. Apa ada yang “seramah” kita di Indonesia?

Negeri yang konon 85% muslim tapi masih butuh label halal. Mestinya segala sesuatunya by default halal. Yang harusnya ada justru label haram. Tapi kalau usulin seperti itu pasti dibilang intoleran.

Indikator lain, leave grup Whats App ketika ada obrolan tentang pluralisme. Yang left dibilang ngga toleran. Opo iyo?

Sekarang ini orang liberalis sama-sama nyebelinnya dengan orang konservatif. Sama-sama ngeyelan dan doyan ngecap stigma. Ngakunya open-minded, tapi nge-judge orang juga.

Mbok coba di-assess dulu, orang yang left itu bisa jadi sebal karena disudutkan. Tiap ada berita pemboman disuruh minta maaf. Disuruh berjanji akan menghentikan sebaran kebencian. Disuruh mengakui.

Praktik kaya gitu malah makin menggariskan jurang perbedaan. Hal yang dicari dari kaum yang tak rela di Indonesia ini toleran. Terus dicari boroknya agar bisa dicela. Diyakinkan hidup di negeri ini bak di neraka.

Tapi di satu sisi saya paham sih. Saya (sebagai muslim) suka baca ucapan selamat Ramadan dari Justin Trudeau. Lalu ritwit ucapan-ucapan serupa dari klub-klub bola. Memang ada kebutuhan untuk direkognisi.

Mungkin sejatinya itu juga kebutuhan saudara-saudara minoritas di sini. Recognition.

Tapi tetap saja itu bukan indikator toleransi.

Related

urban living 8670463316314160306

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item