Seminggu di Thailand: Hari Kedua, Melihat Skena Kreatif Bangkok


Hari kedua kami di Thailand diisi dengan intensi untuk melihat skena literasi dan kopi di Bangkok.

  • Skena Kreatif Bangkok
Skena literasi di Bangkok banyak dipuji, salah satunya ketika pada 2013 ibukota Thailand tersebut mendapat mandat sebagai ibukota buku dunia oleh UNESCO. Mandat ini diberikan karena asesmen akan skena literasi yang ditandai dengan kemudahan akses pustaka. Salah satunya dengan munculnya sejumlah toko buku independen.

Di Bangkok sendiri terdapat juga beberapa chainstore buku, sebut saja Asia Book, Kinokuniya, atau Booksmith yang menjual buku umum. Namun, yang menarik perhatian saya adalah toko-toko buku independen. Hal yang di Jakarta sempat booming, tetapi beberapa tahun belakangan mulai surut.

Akhir pekan terakhir sebelum ke Bangkok, saya sempat ke toko buku Aksara yang dulu menjadi lambang toko buku independen di Jakarta. Sempat membuka beberapa gerai (antara lain di Plaza Indonesia, Pacific Place, dan CITOS), kini Aksara tinggal menyisakan satu-satunya gerai di Kemang, markas utamanya.

Ketika ke sana, saya terkejut karena stok buku yang ada bahkan sudah kalah dengan aneka pop up store yang menempati kompleks itu. Hanya ada sederet rak fiksi dan beberapa display buku non fiksi. Etalase utamanya bahkan ditempati oleh Ruang Seduh, sebuah kafe.

Dulu, Jakarta juga punya QB, chainstore buku mancanegara. QB menonjol karena memberikan pengalaman baca di toko seperti di perpustakaan dengan menyediakan sofa-sofa baca. QB yang terkemuka antara lain di Jalan Sunda, dekat Sarinah. Tempat tersebut jadi sanctuary bagi saya tiap ke Jakarta.

Kini, imaji toko buku independen diambil oleh POST yang ada di Pasar Santa. Selain itu barangkali muncul dalam wujud pop up store di beberapa tempat. Overall, skena literasi di Indonesia tidak tampak membaik. Padahal, tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai rujukan literasi pada 2019 London Book Fair.

Saya yakin ini fenomena global dengan turunnya angka penjualan buku fisik (meski judul terbit terus bertambah). Hal ini yang ingin saya dapatkan di Bangkok, semacam benchmark check untuk melihat seperti apa perkembangan di sana.

BACC



Rangkaian kegiatan hari kedua kami dimulai dengan olahraga pagi di Benchasiri Park, yang terletak tidak jauh dari hostel. Ini adalah taman kecil (sebesar Taman Suropati) dengan danau buatan dan latar gedung tinggi di area Thonglor.

Di Bangkok terdapat beberapa ruang publik berupa taman. Yang terkenal dan paling besar adalah Lumphini Park. Taman lain, yang relatif tidak terlalu jauh dari hostel adalah Benchakitti Park. Kami memutuskan untuk ke Benchasiri saja, sekadar untuk melihat how locals do mingle di ruang publik.

Agenda utama hari itu adalah ke ujung Rama I Road, mengawali di Bangkok Art and Cultural Center (BACC). Di sini jadi semacam episentrum beberapa skena kreatif Bangkok, termasuk literasi di dalamnya.

Di BACC ada beberapa kios yang menjual karya pustaka, antara lain Happening (foto di atas), Tomorrow Close, dan Hardcover (talk about this later). Ada juga kios-kios yang menjual khusus komik, buku fotografi, dan sebagainya. BACC ini one stop location kalau ingin membeli suvenir obscure dari Bangkok atau Thailand.

BACC menyediakan galeri seni, perpustakaan seni, auditorium, dan toko-toko kreatif. Waktu kami ke sana, tengah diadakan pameran interpretasi terhadap tas ransel sekolah yang lucu-lucu. Magi (8), anak saya, sangat menikmati pamerannya.

Pada lantai bawah BACC, terdapat juga kedai kopi Gallery Drip yang cukup terkenal. Selain bisa membeli kopi specialty khas Thailand, suvenir lainnya juga cukup beragam seperti mug enamel, alat seduh, hingga kaos dari bahan katun organik.

Bicara skena kopi di Thailand, banyak kedai-kedai kopi yang berserakan di sepanjang jaaln dan gang. Rasanya sudah seperti di Indonesia, mereka mengenal third wave juga, dengan signature drink-nya berupa Thai Iced Coffee. Apakah itu? Yak, mirip Indonesia, es kopi susu (manis).

Baca juga: Rencana itinerari tur Thailand.

Menyusur Rama I Road


Mengakses BACC ini cukup mudah, bisa naik BTS (LRT-nya Bangkok) Sukhumvit Line dan turun di National Stadium. Jalan melalui konektor yang menghubungkan mal-mal besar di sepanjang Rama I Road seperti MBK, Siam Paragon, Discovery, dan sebagainya. BACC terkoneksi dengan konektor ini.

Setelah dari BACC, tujuan kami berikut adalah ke Central Embassy yang berjarak sekitar 4 kilometer lurus. Cara paling mudah mencapai sana adalah dengan BTS dari National Stadium, ke arah Sukhumvit dan turun di stasiun Chit Lom. Central Embassy ada di seberang stasiun.

Cara lain, atau cara kami, bisa juga menggunakan konektor antar mal sepanjang Rama I Road. Ini akan berjalan kaki cukup jauh, tetapi bisa keluar-masuk mal sambil retail therapy. Dari BACC kami melewati Discovery yang terhubung konektor untuk mengintip sebentar ke Ecotopia.

Ecotopia terletak di mal Discovery yang terkenal karena ada museum Madame Tussaud-nya. Ecotopia sendiri adalah zona khusus barang-barang sadar lingkungan (organik, sustainable, natural), mulai dari kuliner hingga kosmetik. Rata-rata adalah barang artisan. So, ini seperti curated market.

Dari Discovery bisa memanfaatkan konektor untuk ke Siam Paragon, baru kemudian keluar jalan via trotoar sampai Central World. Dari sana menyeberang melalui koridor belanja terkenal, Ratchadamri Road (akses ke Pratunam) dan menyambung ke Gaysorn Village. Selepasnya, berjalan via trotoar hingga Central Embassy.

Total jalan kaki dari BACC hingga Central Embassy via rute ini mencapai 8 kilometer. Perjalanan melelahkan memang, apalagi di bawah terik Bangkok yang hampir menyentuh 40 derajat. Tetapi bonusnya, selain retail therapy, juga bisa melihat beberapa objek menarik seperti kuil Irawan (Eravan Shrine).

Open House, Selebrasi Kultur Cetak


Di Central Embassy ini kami berencana melihat Open House, toko buku yang dikelola oleh Hardcover. Di atas saya sempat menyebut Hardcover yang buka kios di BACC. Mereka adalah toko buku spesialis buku-buku bertema arsitektur, desain, dan fotografi. Di BACC, kiosnya kecil. Namun, bila bicara Open House, kondisinya berbeda sama sekali.

Open House menjadi anchor tenant di lantai V, Central Embassy, wilayah yang dikelilingi kedutaan besar negara-negara asing (hence the name). Konsepnya, menurut Hardcover, adalah selebrasi untuk budaya analog cetak. Di dalamnya terdapat kafe, tempat bermain, stationery, dan tentu saja toko buku.

Konsep toko bukunya sendiri mengingatkan saya akan QB, yang dilengkapi sofa untuk duduk dan membaca. Seluruh buku di sini dibuka (tidak diplastik), dan atraksi utamanya adalah rak buku susun yang berisi buku-buku langka.

Melihat Open House, terutama bagian utamanya, seperti di perpustakaan besar. Terdapat koridor dua lantai untuk menjangkau rak paling atas yang disela-selanya diberi sofa untuk duduk dan membaca. Tempatnya sangat "insta-genik" sehingga ada notifikasi untuk tidak merusak buku demi feed medsos kita.

Open House mengatur klasifikasi raknya berdasarkan penerbit. Jadi kita menemukan section Phaidon, Thames and Hudson, dan sebagainya. Selain itu, ada pula rak berisi buku-buku yang ditanda-tangani penulisnya. Betul-betul merupakan selebrasi atas budaya literasi cetak!

Pengalaman di Open House ini jelas bukan pengalaman transaksional. Buktinya, kami keluar tanpa menenteng satu bukupun. Pengalaman ini adalah pengalaman yang ingin saya dapatkan. Sebagai pekerja di industri cetak, saya merasa ikut merayakan apa yang ingin disampaikan Hardcover melalui Open House.

Di titik inilah saya kembali mengenang masa jaya literasi Jakarta dulu yang kini mulai meredup. Kembali pada kaidah ekskursi untuk mengambil inspirasi, padanan (benchmark), dan pengetahuan. Pilihan itinerary kami berpuncak di Open House di hari kedua ini sebelum kembali ke hostel jelang petang. Inspirasi dan padanan yang bisa diambil adalah harapan skena literasi Jakarta kembali membaik dan gagah.

Semoga saja.

Baca juga: Mengapa harus kembali sebelum petang?

Related

travelogue 3204983800127693414

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item