Tadabbur Juz 2: Anti Depresan dan Anti Anxiety

Yang tadarus musiman seperti saya mungkin sedang paralel mengalami hal yang sama. Malam ini, 2 Ramadan, kita mengaji sampai pada juz 2 Al Qu...


Yang tadarus musiman seperti saya mungkin sedang paralel mengalami hal yang sama. Malam ini, 2 Ramadan, kita mengaji sampai pada juz 2 Al Quran. Masih di Surat Al Baqarah, surat kedua. Dan bagian ini, bagi saya, adalah "daging" surat.

Juz ini salah satu yang sering saya baca lambat-lambat. Sambil mengintip terjemahannya. Banyak "quotable verses" atau ayat yang kutip-able. Dari dasar puasa (tengah sering dibaca), doa "sapu jagad", atau kalimat istirja yang sudah jadi stiker WhatsApp kebanyakan Gen X dan milenial.

Mengenai kalimat istirja ("inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun"), di usia seperti saya ini sudah mulai sering mengucapkan sampai kadang agak salah konteks. Apapun yang terjadi, spontan suka berucap "inna lillahi". Di sini, pada penggalan juz 2, saya jadi merenungi lagi sekuens ayat yang sangat relevan ke kehidupan usia 40+ manusia modern.

Berulang kali saya selalu membuka referensi ketika tiba di ayat ke-153 hingga 157. Setiap tahun, selalu merasakan relasi dengan rangkaian ayat yang diawali dengan petunjuk untuk menjadikan sabar dan salat sebagai medium meminta jalan keluar.

Di ayat berikutnya (155), dijelaskan juga mengenai ujian hidup, yang bagi saya sangat menarik untuk diawali dengan "ketakutan" (khauf), baru berentet kelaparan, kekurangan harta (amwal) baru jiwa (anfus), kemudian makanan (buah-buahan, tsamarat).

Ayat ini sungguh relevan dengan kehidupan kiwari. Atau mungkin bukan kiwari, tetapi pola yang sejak zaman dulu memang sudah ada. Yaitu ujian terhadap manusia itu seringnya terkait dengan keinginan fisik - dari memenuhi kebutuhan (makan) hingga kepemilikan (harta).

Dan seringnya pula, ujiannya itu masih dalam taraf "ketakutan". Dalam bahasa kini, mungkin disebut sebagai anxiety, atau kekhawatiran atas sesuatu yang belum terjadi. Porsi ini yang kadang paling didepankan, sehingga manusia cenderung mengambil langkah antisipasi atas anxiety ini.

Hal itu memicu sifat berlebihan (takut lapar, maka dikenyang-kenyangkan) dan serakah (takut miskin, maka menimbun harta). Miris juga menulis ini di tengah terpaan berita korupsi.

Padahal, ujian sebenarnya pastilah musibah yang benar-benar terjadi. Bukan di pikiran kita, tetapi memang sudah terjadi. Di sinilah, kembali ke ayat 153, Tuhan mengingatkan untuk berpegang pada sabar dan salat. Sebagai kontinuitas atas ayat 155 juga kemudian disampaikan dasar kalimat istirja.

Kepasrahan (atau kesabaran) kita menerima yang menjadi kunci kita keluar dari masalah. Jadi, kalimat istirja itu seperti saran bagi orang yang sedang kena masalah, agar kembali ingat ayat 153 tadi.

Wasiat untuk bersabar, yang sebenarnya berlaku untuk hal yang sudah terjadi, atau hal yang masih jadi anxiety atau keresahan kita. Alias, hal-hal yang belum terjadi.

Nah, di sinilah peran salat (sebagaimana disampaikan di ayat 153) itu kemudian relevan.

Related

tadarus 4504112603940576461

Posting Komentar Default Comments

Follow Me

-

Ads

Popular

Arsip Blog

Ads

Translate

item